Usai kembali dari negeri riset nan jauh, tahun ‘97 menjemput langkahku yang teduh. Setiap hari kaki melangkah ke kampus pertiwi, meski tanpa jabatan, tanpa posisi.
Jabatan telah habis dibagi rata, dan aku tak ingin disangka pemburu kuasa. Maka kutoleh ke arah lain yang tetap bermakna: melamar sebagai Direktur PKU MUI Sulawesi Selatan tercinta.
Alhamdulillah diterima, sebuah awal yang tak pernah kusesali selamanya. Kurikulum kuubah demi keseimbangan, antara kitab kuning dan wacana kenegaraan. Langganan koran, kuliah umum setiap Sabtu, agar para kader tak hanya mahir dalam ilmu syar’i, tapi fasih pula bicara di forum tinggi.
Para pakar pun hadir mengisi ruang jiwa: Prof. Halide yang bijak menatap zaman, Prof. Amien Rais yang lantang berpandangan, Prof. Andi Rasdiyanah—guru bangsa yang menawan, dan Husni Djamaluddin yang kuat dalam tutur dan iman.
Namun tak lama kupegang amanah itu, kampus memanggilku kembali tanpa ragu. Lewat suara Ibu Ras yang teduh dan pasti, aku dipanggil sebagai Asdir di PPS IAIN yang berseri.
Keesokan hari aku menghadap penuh harap, Ibu Ras berkata sambil membuka laci penuh surat: “Harifuddin Cawidu ke DPRD kini, dan menurut kesepakatan, Bapaklah penggantinya nanti.”
Aku terdiam, mengucap syukur dalam hati, dan berjanji bekerja sepenuh hati. Dari sinilah aku belajar birokrasi, dari Ibu Ras—sosok matang penuh dedikasi.
Ia sudah malang melintang di medan kepemimpinan, sedang aku baru menapaki jejak kepercayaan. Alhamdulillah, menurut kisah yang beredar lirih, kinerjaku katanya cukup bersih.
Suatu hari aku dipanggil kembali, “Bersiaplah menggantikan saya sebagai direktur nanti.” Padahal saat itu rencana lain telah kutata: membangun masjid dua lantai di jantung kota, lantai atas tempat shalat dan dzikir, lantai bawah tempat pengajian dan pesta yang menyejukkan pikir.
Tapi ketika aku ceritakan itu pada Ibu, beliau tersenyum dan berkata syahdu: “Tunda dulu rencanamu itu, menurut saya, jadilah direktur lebih dahulu.”
Maka sejak saat itu kujalani tugas sepenuh raga, menjadi Direktur PPS dalam waktu yang lama. Satu periode sebagai Asdir pembuka, dua periode sebagai Direktur utama.
Dan sejak itulah tak berhenti amanah datang: Pjs. STAIN Kendari, lalu Wakil Rektor I UIN yang tenang, juga Pjs. Dekan dua kali di Fakultas Ilmu Kesehatan, hingga akhirnya pensiun penuh kenangan.
Semua itu bermula dari satu tangan yang percaya, dari seorang ibu pemimpin penuh cinta. Dan aku bersyukur, karena belajar dari Ibu Ras bukan hanya soal birokrasi, tetapi tentang integritas, keikhlasan, dan seni melayani.
Wasalam, Kompleks GFM, 21 Juni 2025