Gambar Jejak Kehidupan

- Setiap waktu dan lembaran hari yang kita lewati menghabiskan jatah umur 24 jam, semua orang sama rata, apakah baik atau jahat, pintar atau bodoh, pejabat atau rakyat jelata, sehat atau sakit semuanya sama tak berbeda dua puluh empat jam. Meskipun jatah umur sama, pikiran, ucapan, tindakan, dan akibat yang dihasilkan berbeda.

Dalam bahasa Arab, kata umur masih seakar dengan kata makmur. Jadi setiap hari mestinya setiap orang membuat suatu prestasi atau nilai tambah atau mendatangkan kemakmuran minimal untuk dirinya sendiri. Apalagi jika kemakmuran itu untuk keluarga, masyarakat, negara dan bangsa merupakan sesuatu yang harus disyukuri.

Ajaran agama memberi petunjuk bahwa semua pikiran, perkataan, apalagi perbuatan tidak ada yang hilang dalam catatan malaikat. Pikiran dan perkataan itu pada urutannya akan melahirkan sistem makna dan simbol yang di antaranya diabadikan dalam tradisi lisan.

Dari pikiran dan perkataan melahirkan tindakan. Pada gilirannya akan dimintai pertanggungjawaban Sang Pencipta Dialah Tuhan. “Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang hal itu. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati nuranimu, semuanya akan dimintai pertanggungjawaban” (QS. Al-Isra’/17 : 36).

Kegiatan ibadah dalam Islam, sebagaimana juga dalam agama lain, selalu mengandung dua dimensi: esoterik dan eksoterik. Yang pertama sifatnya sangat pribadi tujuan akhirnya untuk mendekatkan diri dan menyatu dengan Tuhan dengan jalan menyucikan diri, menjauhkan pikiran, ucapan, dan tindakan yang tidak terpuji.

Yang kedua, dimensi eksoterik yakni dimensi dan implikasi lahir bahwa orang beragama dituntut melaksanakan perintah ajaran agama dengan baik, terukur dan dapat diamati, yang tujuan akhirnya membentuk karakter dan kepribadian mulia sehingga perilaku keberagamaan seseorang mendatangkan manfaat dan kebaikan bagi sesama manusia. Dengan demikian, dimensi iman selalu mengasumsikan munculnya kesalehan sosial.

Dalam Islam kedua dimensi ini dituangkan dalam frase “hablun minallah, wa hablun minannas”. Mendekat dan berbakti kepada Tuhan harus membuahkan kebaikan dan pelayanan kepada sesama manusia. Para sosiolog menyebutkan bahwa semua agama mengandung dimensi intelektual, ritual, mistik, dan sosial. Dimensi intelektual berkenaan dengan pengetahuan dan kepercayaan kita tentang agama.

Dimensi ritual berkenaan dengan ritus-ritus untuk menyembah Allah Swt., dimensi mistik berkenaan dengan tata cara mendekati Tuhan yang memberikan pengalaman kepada kita yang sangat spesifik. Sedangkan dimensi sosial merupakan aturan-aturan untuk hidup bermasyarakat.

Kita sering mengatakan bahwa Islam tidak hanya mengatur hubungan dengan Allah Swt., tetapi juga hubungan dengan sesam manusia. Sebenarnya semua agama mencakup seluruh permasalahan itu. Hanya saja persoalannya adalah mana yang paling dominan di antara dimensi-dimensi itu. Islam menekankan ibadah dalam dimensi sosial jauh lebih besar daripada dimensi ritual.

Hal ini dibuktikan dengan alasan. Pertama, karakteristik atau ciri orang takwa disebutkan Alquran lebih banyak yang berdimensi sosial bila dibanding yang berdimensi ritual. Dimensi ritual dan dimensi sosial disebutkan Al-Qur'an satu berbanding seratus. Jika ada satu ayat tentang ibadah ritual, akan ada seratus ayat tentang muamalah (sosial).

Misalnya: “Berbahagialah orang-orang yang beriman, yaitu orang yang khusyuk dalam salatnya (dimensi ritual), yang memelihara diri dari perbuatan yang tidak bermanfaat (dimensi sosial), orang yang melaksanakan amanah yang diberikan kepadanya (dimensi sosial), yang memelihara kehormatannya (dimensi sosial), mengeluarkan zakat (dimensi ritual yang banyak mengandung unsur sosial).” Anehnya kita sering mengukur orang takwa dari ritualnya ketimbang sosial.

Kedua, kalau ibadah ritual kebetulan bersamaan dengan pekerjaan yang mengandung dimensi sosial di dalam Islam kita diajarkan mendahulukan yang sosial, atau menangguhkan bukan ditinggalkan. Misalnya Nabi pernah melarang membaca surah yang panjang-panjang dalam salat berjamaah. Karena boleh jadi banyak jamaah yang tidak tahan berdiri lama atau sakit, mempunyai urusan yang mendesak. Nabi pernah memperpanjang waktu sujudnya, hanya karena di pundaknya ada cucunya di situ. (*)