Di Desember yang dingin, namun hangat terasa, Langit Leiden menyambut langkah dari Jakarta. Ibu Ras datang, sosok bijak nan bersahaja, Bersama suami tercinta dan sahabat setia.
Aku sedang merenda ilmu di negeri Belanda, Menelusuri naskah, menjelajah makna, Di bawah naungan proyek INIS yang mulia, Antara Indonesia dan Belanda bersinergi bersama.
Kunjungan itu bukan sekadar protokoler biasa, Tapi jembatan batin yang menyambung rasa. Kutatap wajah-wajah penuh tanya dan kagum, Saat kutunjukkan hasil riset yang tersimpan harum.
Mereka tercengang—"Inikah karya anak bangsa?" Tersimpan rapi di rak sejarah yang berjasa. Dan mungkin dari sanalah simpati pun tumbuh, Karena aku bukan sekadar ilmuwan yang teguh.
Aku hanyalah perantau tak memilih sekat, Yang memeluk semua, tanpa sekte sebagai sekat. Mereka menyambut hatiku yang lapang, Sebagaimana aku menyambut tamu dengan senang. Kenapa sekte bisa jadi berhala? Pada hal sekte hasil ciptaan sendiri
Malam itu kami berpesta bukan karena kemewahan, Tapi karena rindu yang melahirkan kehangatan. Kami patungan, mengundang dari berbagai bangsa, Dari Spanyol, Italia, Denmark, hingga Romania.
Kami ajarkan cara makan nasi dan lauk sederhana, Namun dalam hidangan itu tersimpan cinta. Cinta pada tanah air, pada tamu, pada manusia, Yang tak mengenal batas, kasta, atau bahasa.
Leiden menjadi saksi tawa dan rasa, Antara duta dari Jakarta dan anak bangsa yang berkarya. Dan Ibu Ras, dengan suami yang arif dan bijaksana, Tinggalkan jejak pelangi dalam kenangan yang tak sirna.
Wasalam, Kompleks GFM, 16 Juni 2025