Gambar JEJAK EMOSI DAN RASIO (Puisi Antropologis untuk STA)


Di tahun delapan puluh tujuh yang bersinar,

Langkahku tiba di Jakarta yang berdebu dan liar,

Belajar pada seorang maestro pemikir besar,

Sutan Takdir Alisjahbana — sang STA yang tajam dan segar.


Meski sosoknya dikata sosialis,

Sebagian sahabat bersuara pesimis,

Namun Harun Nasution, sang direktur yang idealis,

Berkata: “Kenali, pahami—itulah cara akademis.”


Aku diam, menimbang dalam diamku,

Menadah hikmah dari telaga ilmunya yang syahdu.

Tak lama berselang, ilmu diuji di dunia nyata,

Saat Paguyuban Mandar menggelar Halalbihalal penuh makna.


Kukaji kembali ajaran STA yang bijaksana,

Bahwa manusia berpijak pada dua budaya:

Yang satu emosional, menggelegak dari rasa,

Yang satu rasional, lahir dari nalar dan cita.


Di desa, kata beliau, emosi lebih bertahta,

Pertengkaran bisa meledak, selapis demi selapis dibuka.

Rahasia disebar seperti abu di udara,

Bahkan ayam musuh pun bisa turut jadi sasaran cerca.


Namun di kota, rasionya mulai bicara,

Semakin terdidik, semakin bijak mengelola luka.

Masalah didudukkan, dibatasi cakrawala,

Agar persoalan tak menular menjadi bara.


Dari kuliah itu aku mendapat cahaya,

Bahwa belajar bukan sekadar menumpuk kata,

Tapi menggeser emosi yang meledak sia-sia,

Menumbuhkan rasio dalam dada manusia.


Maka kutulis ini sebagai kenangan dan pelita,

Bahwa belajar adalah jalan menuju dewasa,

Volume emosi tak perlu dihapuskan semua,

Tapi diramu dengan nalar dalam kadar yang bijaksana.


Wassalam,

Kompleks GFM, 30 Juni yang ramah,

Kuucapkan terima kasih kepada mereka yang memberi arah,

Terutama STA — sang guru dalam cahaya sejarah.