Gambar JEJAK ABADI DI TAMALANREA


Di antara langkah dan waktu yang bijak,
Hiduplah seorang pemimpin nan tegak.
H. Fadli Luran, laksana bintang penunjuk arah,
Ketua IMMIM dengan pandang yang cerah.

Setiap keputusan tak lahir tiba-tiba,
Melainkan dari musyawarah yang dirasa.
Tak membangun hanya karena dorongan sesaat,
Tapi karena cinta pada umat yang kuat.

Ia melihat ke timur dan barat,
Anak-anak Sulsel menempuh jarak yang berat.
Ke Gontor, ke Bangil, menimba ilmu nan suci,
Lalu pulang, membawa cahaya dalam diri.

“Mengapa tidak kita dekatkan saja?”
Tanya hati yang penuh cinta.
Agar santri tak lagi merantau jauh,
Cukup di tanah Bugis, ilmu bertumbuh.

IMMIM tak hanya urus jamaah,
Tapi butuh kader, penjaga amanah.
Maka pesantren pun jadi cita,
Bukan sekadar tempat, tapi pusat asa.

Namun dana tak mudah dicari,
Bukan sekadar niat suci berdiri.
Datanglah pemuda dengan mata basah,
Mendengar kisah, hatinya pun pasrah.

Ia berkata, “Akan kusampaikan pada Tun Mustafa,”
Dan seperti hujan setelah kemarau lama,
Datanglah bantuan lima puluh ribu dolar,
Lewat Gubernur yang memegang palu sabar.

Namun sang gubernur, Ahmad Lamo yang bijak,
Berniat membagi untuk semua yang beranjak.
Lalu Fadli Luran bersuara lembut dan tenang,
Dengan bahasa Enrekang, yang menggugah kenangan.

Ia ceritakan asbabul wurud,
Dengan tutur lobi yang penuh adab dan sudut.
Akhirnya luluhlah hati sang pemimpin daerah,
Dan pesantren pun lahir dari berkah dan sejarah.

Tun Mustafa, dermawan dari Sabah,
Memberi tak hanya harta, tapi berkah.
Dan kini pesantren itu telah melahirkan,
Tiga ribu jiwa yang terus berjalan.

Ada yang jadi dosen, diplomat, bahkan pemimpin,
Irfan Idris pun lahir dari pesantren ini yang hening.
Semua tak lepas dari jasa mereka bertiga,
Yang kini telah tiada, namun amalnya kekal selamanya.

Mari kita kirim doa,
Untuk H. Fadli, Tun Mustafa, gubernur, dan para dermawan mulia.
Lahum Al-Fatihah—dari santri dan umat,
Sebagai balas cinta yang tak pernah tamat.

Kompleks GFM, 7 Mei 2025