Sungguh, Imam Ahmad meriwayatkan sebuah hadits tentang shalat sunnah qabliyah Maghrib dan menyatakan keshahihannya. Akan tetapi aneh, belum pernah para muridnya menyaksikan beliau mengamalkan ibadah tersebut.
"Mengapa?", tanya mereka. "Sebab penduduk Baghdad telanjur mengambil pendapat Imam Abu Hanifah", ujar beliau, yang menyatakan tiadanya shalat qabliyah Maghrib. Kalau aku mengamalkan hal yang berbeda, niscaya akan menimbulkan keributan di antara mereka." Meninggalkan suatu sunnah yang diyakini keutamaannya demi terjaganya harmoni masyarakat ternyata adalah 'amal utama. "Karena itu para Aimmah (pembesar) seperti Imam Ahmad atau yang lainnya", demikian tulis Syaikhul Islam Ibn Taimiyah, "menganggap sunnah apabila seorang imam meninggalkan hal-hal yang menurutnya lebih utama, jika hal itu dapat menyatukan makmum."
"Demikian juga orang-orang yang menganggap melirihkan suara ketika membaca basmalah (dalam shalat berjamaah) adalah lebih utama atau sebaliknya." *"Sedangkan makmum berbeda dengan pendapat atau madzhabnya, maka dia boleh mengerjakan yang kurang afdhal demi menjaga kemashlahatan persatuan. Hal ini lebih kuat dibandingkan permasalahan mana yang afdhal dari kedua perkara tersebut, dan ini adalah baik."
Imam Ahmad ibn Hanbal juga menekankan hal ini sampai soal berpakaian. Beliau menegur seorang yang ditemuinya di Baghdad dalam keadaan memakai pakaian penduduk Makkah. "Tidak cukupkah bagimu pakaian yang biasa dikenakan orang 'Iraq?" "Bukankah ini pakaian yang baik, pakaian dari tempat bermulanya Islam?" "Ya", jawab beliau, "Akan tetapi aku khawatir pakaian itu menyebabkankan rasa sombong dan aku khawatir ia adalah pakaian kebanggaan (libasusy syuhrah) yang dilarang oleh Rasulullah, karena dikenakan agar pemakainya tampak menonjol di tengah khalayak."
Jalan sunnah adalah jalan tak suka ribut tentang khilafiyah furu'iyyah. Jalan sunnah adalah jalan yang meminta kita tak perlu tampil mencolok dan terlihat berbeda.