Start typing & press "Enter" or "ESC" to close
Indonesian
English
العربية
Home
Profil
Pimpinan UIN
Sejarah UIN
Lambang
Visi Misi & Tujuan
Struktur Organisasi
Quality Assurance
Kerjasama Kemitraan
Dasar Hukum Pengelolaan
Pedoman dan Panduan Pengelolaan
Fakultas
Syariah & Hukum
Ekonomi & Bisnis Islam
Tarbiyah & Keguruan
Ushuluddin & Filsafat
Dakwah & Komunikasi
Adab & Humaniora
Sains & Teknologi
Kedokteran & Ilmu Kesehatan
Program Pascasarjana
Lembaga
LEMBAGA
Penjaminan Mutu
Penelitian & Pengabdian Masyarakat
UPT
Pusat Teknologi Informasi dan Pangkalan Data
Perpustakaan
Pusat Bahasa
PUSAT
Pusat Studi Gender dan Anak
Pusat Pengembangan Bisnis
Satuan Pengawas Internal (SPI)
International Office (IO)
Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID)
Biro
Biro AUPK
Keuangan
Kepegawaian
Perencanaan
Umum
Biro AAKK
Akademik
Kemahasiswaan
Kerjasama
Sistem Informasi
Portal Mahasiswa Dan Dosen
Portal Alumni Dan Karir
Portal Kepegawaian/SDM
E-Kinerja
Kuliah Kerja Nyata
SOP
KIP
Capaian Indikator Kinerja Utama (IKU)
Rumah Jurnal
Repository
Ebook
OPAC
Sistem Pengecekan Ijazah dan Transkrip
Registrasi Mahasiswa Baru
Pustipad Helpdesk
UKT Covid
Ujian Masuk Mandiri
Monev Perkuliahan Daring
Tracer Study
Sister
Kuliah di UIN
Penerimaan Mahasiswa Baru
Unit Kegiatan Mahasiswa
Kartu Indonesia Pintar (KIP)
Agenda
Change Languange
English
العربية
Indra Keberagamaan (9)
11 April 2022
Oleh: Hamdan Juhannis
Teman-teman Rektor Perguruan Tinggi Keagamaan Negeri (PTKN) tersulut juga. Barusan banyak tergerak merespon celoteh saya saat bicara tentang masalah indoktrinasi dunia pendidikan kita. Mungkin karena melihatnya ini bagian dari tugas insan perguruan tinggi.
Prof. Muzakkir, Rektor IAIN Kudus, menyebutnya bahwa apa yang dilakukan oleh Film Barat adalah wujud ideologisasi, dalam istilah Sosiologi. Itu istilah yang tepat mungkin, waktu mencoretnya pikiran saya tidak kesampaian di sana. Jadi betul, proses ideologisasi itu terjadi melalui ragam kanal, dan film dengan segala sarananya yang tampaknya menjadi kanal yang paling jitu.
Prof. Muzakkir malah menunjuk masalah proses ideologisasi yang tidak ideologis karena lemahnya metodologi. Beliau menunjuk kerja banyak ustadz yang disebutnya sebagai penguasa "panggung candradimuka" yang tidak maksimal dalam kerja ideologisasi. Para ustadz katanya, cenderung kering kreatifitas, monoton pembahasan, dan kurang menarik menyajikan pesan.
Searah dengan kritik di atas, Prof. Nyayu Khodijah, Rektor UIN Palembang, menganggap bahwa bila ideologisasi nilai bangsa sendiri yang ingin dikuatkan, pilihannya adalah dunia pendidikan memang harus menyenangkan. Prof. Nyayu bahkan menunjuk sebuah hasil penelitian, menyangkal asumsi yang saya bangun bahwa anak-anak kita banyak yang tidak senang ke sekolah. Prof. Nyayu membantah bahwa justeru anak-anak sekolah kita sangat senang ke sekolah, bahkan mereka sedih kalau sekolah libur. Yang disenangi dan selalu dirindukan oleh mereka bukan pelajarannya, tetapi waktu bermain saat jam istirahat.
Prof. Nyayu sebenarnya bukan hanya menunjuk pengalaman anak-anak sekolah tapi membangkitkan memori indah kita semua saat masih di sekolah dengan segala dinamika jam istirahatnya. Ayo, siapa mau cerita apa saja yang terjadi pada jam istirahat. Saya hanya ikutan pergi melempar mangga orang sambil mengendap-endap tidak ketahuan oleh pemiliknya. Itu khas anak sekolah kampung.
Artinya, pola yang harus dirawat dalam dunia pendidikan adalah idiologisasi yang menyenangkan, sebagai kontra ideologisasi Barat melalui film. Bahkan sekarang lebih melebar lagi, ideologisasi melalui film India (bollywood), apalagi masifnya doktrin nilai melalui drama korea, film seri yang tidak berseri, saking panjangnya. Film-film kita bahkan mulai tertarik mengikuti setting cerita film mereka.
Jadinya, bagaimana merawat pendidikan yang menyenangkan? K.H. Zainal Abidin, Rektor Ambon, menunjuk bahwa pilihannya adalah perbaikan infrastruktur sekolah terlebih dahulu khususnya di desa-desa dan tempat-tempat terpinggir. Pak Kyai Zainal tentu sangat paham dengan realitas ini karena posisi beliau sebagai tokoh agama yang selalu berjalan ke pelosok dalam rangka pemberdayaan. Tanpa ada keinginan kuat untuk pemerataan fasilitas dan sarana sekolah, mustahil untuk menunjuk sekolah sebagai arena ideologisasi dan indoktrinasi nilai bangsa yang tepat.
Mungkin yang dimaksud oleh Pak Kyai Zainal adalah perlunya terobosan hadirnya sekolah bioskop. Dan beliau bertanya, kapankah itu? Rupanya beliau menjawab sendiri, dengan bernyanyi: kapan kapaaan....Sebuah awalan bait lagu lawas yang memadukan kerinduan sekaligus pesimisme.