Start typing & press "Enter" or "ESC" to close
Indonesian
English
العربية
Home
Profil
Pimpinan UIN
Sejarah UIN
Lambang
Visi Misi & Tujuan
Struktur Organisasi
Quality Assurance
Kerjasama Kemitraan
Dasar Hukum Pengelolaan
Pedoman dan Panduan Pengelolaan
Fakultas
Syariah & Hukum
Ekonomi & Bisnis Islam
Tarbiyah & Keguruan
Ushuluddin & Filsafat
Dakwah & Komunikasi
Adab & Humaniora
Sains & Teknologi
Kedokteran & Ilmu Kesehatan
Program Pascasarjana
Lembaga
LEMBAGA
Penjaminan Mutu
Penelitian & Pengabdian Masyarakat
UPT
Pusat Teknologi Informasi dan Pangkalan Data
Perpustakaan
Pusat Bahasa
PUSAT
Pusat Studi Gender dan Anak
Pusat Pengembangan Bisnis
Satuan Pengawas Internal (SPI)
International Office (IO)
Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID)
Biro
Biro AUPK
Keuangan
Kepegawaian
Perencanaan
Umum
Biro AAKK
Akademik
Kemahasiswaan
Kerjasama
Sistem Informasi
Portal Mahasiswa Dan Dosen
Portal Alumni Dan Karir
Portal Kepegawaian/SDM
E-Kinerja
Kuliah Kerja Nyata
SOP
KIP
Capaian Indikator Kinerja Utama (IKU)
Rumah Jurnal
Repository
Ebook
OPAC
Sistem Pengecekan Ijazah dan Transkrip
Registrasi Mahasiswa Baru
Pustipad Helpdesk
UKT Covid
Ujian Masuk Mandiri
Monev Perkuliahan Daring
Tracer Study
Sister
Kuliah di UIN
Penerimaan Mahasiswa Baru
Unit Kegiatan Mahasiswa
Kartu Indonesia Pintar (KIP)
Agenda
Change Languange
English
العربية
Indra Keberagamaan (8)
11 April 2022
Oleh: Hamdan Juhannis
Dalam suatu acara Lembaga Sensor Film (LSF), saya ikut menyampaikan tuturan bahwa dunia pendidikan harus memainkan peran dalam mengontrol dunia perfilman dan dunia bioskop.
Saat memberikan ulasan, saya bertanya kepada peserta yang kebanyakan pemuda. Apakah anda saat pergi menonton di film di bioskop, anda merasa terpaksa? Mereka menjawab: tidak. Saya melanjutkan, apakah anda mengeluarkan duit untuk membeli tiket masuk secara sukarela? Mereka menjawab: Iya. Saat masuk apakah membeli camilan? Mereka menjawab: kadang-kadang kalau ada uang lebih. Apakah tempatnya nyaman? Mereka menjawab: sejuk, kursi empuk, dan berdampingan dengan kekasih.
Lalu saya mengurai bahwa bioskop dan film adalah dua hal yang berpaut sebagai tempat penanaman doktrin dan nilai budaya yang sangat jitu. Anda pergi menonton dan mengeluarkan uang tanpa paksaan. Anda membeli camilan, duduk dalam situasi nyaman, lalu anda menonton bersama teman dekat, menyaksikan lakon cerita yang merepresentasi budaya dan pandangan hidup. Dari situlah saya yakin, film dan bioskoplah yang membentuk cara pandang kita terhadap budaya. Cara berbudaya pop kita dibentuk dari doktrin film dalam situasi yang sangat nyaman. Dunia film yang dikuasai Barat (Hollywood) itulah yang menyetir cara kita bersikap.
Bandingkan dengan sekolah. Anak-anak kita kadang terpaksa pergi ke sekolah, duduk di bangku keras, ruangannya membuat gerah. Syukur kalau gurunya cukup komunikatif dan empatik dalam memandu.
Jadi menurutku, dunia pendidikan harus memiliki bioskop sebagai tempat nyaman dalam menyajikan doktrin. Dunia pendidikan sejatinya mengajarkan kurikulum film yang mendidik sebagai wadah penyebaraluasan nilai-nilai moral sebagai antitesa dari penguasaan layar lebar oleh industri film Barat.
Menurutku ini perlu menjadi perhatian, karena dampaknya dunia pendidikan kita ibarat pemeran figuran dalam cerita film yang bukan hanya tidak diinginkan, tapi juga diabaikan. Pemeran utamanya, adalah keperkasaan doktrin Barat yang merasuk melalui budaya bioskop dan sajian film-film tanpa sensor pada berbagai platform digital. Atau perlu memikirkan hadirnya bioskop syariah? Ko' larinya ke situ!