Sahabat saya, Rektor Unhas, Prof. Dwia Aries Tina, akhirnya terpancing juga dengan celoteh saya. Ketika mengulas tentang ragam keterjebakan manusia, misalnya jebakan penipuan dengan modus IT, Prof. Dwia merespon dengan menyebutnya sebagai efek dari rasionalitas masyarakat di era 4.0. Prof. Dwia melihatnya sebagai efek dari kehidupan yang melampauhi modernitas, yang disebutnya sebagai "beyond modernism".
Saya bukan hanya setuju dengan pandangan Prof. Dwia tetapi mencoba menguliti dasar dari pikiran beliau. Saya ingin memperhadapkan istilah "beyond modernism"nya Prof. Dwia dengan istilah "Within Humanism". Saya belum cek kecocokan tata bahasanya, tapi paling tidak gagah-gagahan sedikit dengan istilah.
Menurutku, Prof. Dwia ingin mengeritik kehampaan yang ditumbulkan oleh modernitas yang kebablasan, yang menjadi ciri masyarakat saat ini. Akibatnya rasionalitas mengalami disorientasi, rasionalitas yang tidak rasional. Bayangkan, manusia saat ini terlalu mempercayakan kehidupannya kepada mesin. Seakan-akan mesin akan menyelesaikan semuanya. Kecerdasan buatan yang disiapkan oleh manusia sendiri, menurutku menjadi monster yang mengancam kemanusiaan.
Karakter yang menjadi kekuatan manusia yang oleh guru saya disebutnya "inner capacity" cenderung dinihilkan. IT sebagai buatan manusia menjadi dewa. Perdagangan (trading) yang seharusnya menjadi aktifitas suci karena itu adalah profesi kenabian, berubah menjadi perdagangan mesin (robot) yang disalahgunakan. Celakanya, manusia-manusia rasional menyalahgunakannnya untuk kepentingan dirinya, dan lebih celakanya, manusia rasional lainnya mau saja ditipu dengan janji yang tidak masuk akal. Aneh kah?
Satu lagi efek rasionalitas masyarakat "beyond modernism" yang mungkin menjadi keresehan Prof. Dwia adalah sudah menyerahkan hidupnya kepada mesin-mesin kecerdasan. Bangun pagi-pagi setelah shalat subuh, saat siap-siap olahraga atau jogging cek dulu denyut jantung. Sambil melangkah dicek terus berapa langkah yang sudah dilakukan. Setelah menyelesaikan target langkah, lalu membandingkan denyut nadi sebelum dan setelah olahraga. Pulang, saat mau mengkonsumsi makanan, mengecek berapa kandungan kalorinya, dan saat disuguhkan makananan mengandung karbo, dicek berapa takaran yang harus dikonsumsi.
Jadinya fenomena kehidupan 4.0 saat ini menunjukkan kehidupan yang cenderung monoton, mekanis, dan stagnan. Padahal kehidupan ini anugrah dan berkah karena sudah terfasilitasi oleh "kuasa" diri. Manusia hidup memiliki kemampuan memainkan rasa dan rasionya sendiri untuk mendeteksi segala fenomena di sekitar. Itulah yang saya sebut sebagai "within humanism."
Semangat "within humanism" ini membuat saya berusaha tidak memegang telpon pintar (smart phone) kalau tidak perlu, apalagi saat jogging. Karena ini adalah ikhtiar untuk mengembalikan kedigjayaan kemanusiaan (human-centered). Berbeda dengan teman-teman lain, hampir semua mengantongi Hp dan saat ngopi hampir semua memegang Hp. Begitu bertekuk-lututnya pada kedigjayaan mesin. Tapi ada satu teman bukan untuk alasan itu semua. Alasannya, gampang kalau dicari isterinya. Ini fenomena lain, bukan "beyond modernism" bukan pula "within humanism" tapi "under wife's control".