Start typing & press "Enter" or "ESC" to close
Indonesian
English
العربية
Home
Profil
Pimpinan UIN
Sejarah UIN
Lambang
Visi Misi & Tujuan
Struktur Organisasi
Quality Assurance
Kerjasama Kemitraan
Dasar Hukum Pengelolaan
Pedoman dan Panduan Pengelolaan
Fakultas
Syariah & Hukum
Ekonomi & Bisnis Islam
Tarbiyah & Keguruan
Ushuluddin & Filsafat
Dakwah & Komunikasi
Adab & Humaniora
Sains & Teknologi
Kedokteran & Ilmu Kesehatan
Program Pascasarjana
Lembaga
LEMBAGA
Penjaminan Mutu
Penelitian & Pengabdian Masyarakat
UPT
Pusat Teknologi Informasi dan Pangkalan Data
Perpustakaan
Pusat Bahasa
PUSAT
Pusat Studi Gender dan Anak
Pusat Pengembangan Bisnis
Satuan Pengawas Internal (SPI)
International Office (IO)
Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID)
Biro
Biro AUPK
Keuangan
Kepegawaian
Perencanaan
Umum
Biro AAKK
Akademik
Kemahasiswaan
Kerjasama
Sistem Informasi
Portal Mahasiswa Dan Dosen
Portal Alumni Dan Karir
Portal Kepegawaian/SDM
E-Kinerja
Kuliah Kerja Nyata
SOP
KIP
Capaian Indikator Kinerja Utama (IKU)
Rumah Jurnal
Repository
Ebook
OPAC
Sistem Pengecekan Ijazah dan Transkrip
Registrasi Mahasiswa Baru
Pustipad Helpdesk
UKT Covid
Ujian Masuk Mandiri
Monev Perkuliahan Daring
Tracer Study
Sister
Kuliah di UIN
Penerimaan Mahasiswa Baru
Unit Kegiatan Mahasiswa
Kartu Indonesia Pintar (KIP)
Agenda
Change Languange
English
العربية
Indra Keberagamaan (25)
28 April 2022
Oleh: Hamdan Juhannis
Beberapa hari lalu, kami buka puasa dan tarawih bersama di sebuah tempat eksotik, Pantai Gusung Tallasa, yang sering saya sebut sebagai Jimbarannya Makassar (sebenarnya aslinya tanggul pemecah ombak yang disulap oleh beberapa tokoh pencinta laut jadi pantai pasir putih). Saat itu, ada seorang teman dosen terlambat datang. Hampir tidak dapat buka puasa bersama.
Saya bertanya kenapa sangat terlambat? Dia menjawab, macet sekali. Katanya dia tinggalkan rumah jam 4 sore, tapi macetnya parah, hampir dua jam di jalanan. Lalu saya menimpali, itulah pentingnya memahami Sosiologi Jalan Raya.
Saya mulai berceloteh, banyak yang masih memaknai puasa Ramadan sebagai perpindahan jadwal makan saja, yang sebelumnya makan siang diundur waktunya ke makan magrib karena berpuasa. Perpindahan jadwal puasa ini tidak merubah sama sekali pola konsumsi makanan, hanya menggeser waktu. Pada banyak orang, entah siapa, puasa tidak lantas merubah pandangan kita tentang pola konsumsi. Menahan dalam berpuasa adalah menahan makan dalam interval waktu tertentu.
Karena pemaknaan puasa sebagai pergeseran jadwal makan, bergeser pulalah aktifitas pengelolaan bahan kebutuhan makan di pasar, yang sebelumnya sangat sibuk di pagi hari untuk keperluan makan siang, menjadi sibuk di sore hari untuk keperluan buka puasa. Bahkan pergerakan sore lebih masif karena tuntutan makan sangat tinggi, seperti ingin memangsa segala hal karena dorongan dari rasa lapar. Efek langsungnya adalah intensitas keramaian di jalan raya meningkat sekali. Itulah konsekuensi pemaknaan puasa sebagai pergeseran jadwal makan yang justru berkontribusi meningkatnya konsumerisme.
Teman dosen tersebut mengatakan, wah, baru saya dengar itu. Saya memotong, itu bukan hal baru, orang sudah sering menulisnya. Mungkin saat tulisan itu terbit, Bapak sedang main catur, canda saya. Kebetulan teman saya itu pemain catur kawakan, pernah juara catur se-universitas. Tergambar dari perawakannya, pemikir sejati.
Analisa pola konsumtif inilah yang makin menggejala pada 10 terakhir Ramadan. Seperti kegelisahan salah seorang pembaca setia celoteh saya, Muh. Saleh Rajab, mantan Birokrat senior di Provinsi saya. Menurutnya, fenomena shaf Masjid yang mulai ramai sejak adanya pelonggaran, kembali berjarak. Bukan hanya berjarak tetapi shafnya hilang. Gejala ini tidak terlepas dari pemahaman rangkaian Ramadan sebagai kegiatan festival semata. Di tengah perburuan malam kemuliaan (lailatul qadr) di satu sisi, terjadi pergerakan masif untuk menyiapkan puncak ritual festival di akhir Ramadan di sisi lain. Terlebih lagi saat sekarang, ada variabel baru yang mempengaruhi, euforia atas terbukanya kembali ruang-ruang perhelatan keramaian.
Sampai disini, mungkin kita bisa mentoleransi sebuah pemahaman bahwa itulah pernak-pernik Ramadan yang sudah menjadi bagian dari tradisi keagamaan. Namun, perlu juga menghadirkan kegamangan akan menonjolnya simbolitas di atas dari kualitas keberagamaan. Shaf yang kosong adalah menurunnya kuantitas, karena jumlah. Tapi ketika shaf itu berkurang karena motifnya tertarik mengurus pernak-pernik Ramadan itu adalah bukti nyata tidak membaiknya sisi kualitas keberagamaan. Padahal dari sisi kualitas inilah, istilah keberkahan Ramadan bisa diraih.
Saya tertarik uraian Kepala Pusat Pengabdian pada Masyarakat di kampus kami ketika membawakan Kultum. Katanya, jangan sampai keluarnya THR berdampak pada menurunnya semangat "qiyam ramadan". Artinya, THR yang diterima bisa berefek pada kurangnya berkah. Saya suka dengan caranya mengambil analogi yang membuat kita pada tersentak. Tapi kenapa THR yang disebut-sebut, bisa mempengaruhi kebijakan pemerintah ke depan.