Start typing & press "Enter" or "ESC" to close
Indonesian
English
العربية
Home
Profil
Pimpinan UIN
Sejarah UIN
Lambang
Visi Misi & Tujuan
Struktur Organisasi
Quality Assurance
Kerjasama Kemitraan
Dasar Hukum Pengelolaan
Pedoman dan Panduan Pengelolaan
Fakultas
Syariah & Hukum
Ekonomi & Bisnis Islam
Tarbiyah & Keguruan
Ushuluddin & Filsafat
Dakwah & Komunikasi
Adab & Humaniora
Sains & Teknologi
Kedokteran & Ilmu Kesehatan
Program Pascasarjana
Lembaga
LEMBAGA
Penjaminan Mutu
Penelitian & Pengabdian Masyarakat
UPT
Pusat Teknologi Informasi dan Pangkalan Data
Perpustakaan
Pusat Bahasa
PUSAT
Pusat Studi Gender dan Anak
Pusat Pengembangan Bisnis
Satuan Pengawas Internal (SPI)
International Office (IO)
Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID)
Biro
Biro AUPK
Keuangan
Kepegawaian
Perencanaan
Umum
Biro AAKK
Akademik
Kemahasiswaan
Kerjasama
Sistem Informasi
Portal Mahasiswa Dan Dosen
Portal Alumni Dan Karir
Portal Kepegawaian/SDM
E-Kinerja
Kuliah Kerja Nyata
SOP
KIP
Capaian Indikator Kinerja Utama (IKU)
Rumah Jurnal
Repository
Ebook
OPAC
Sistem Pengecekan Ijazah dan Transkrip
Registrasi Mahasiswa Baru
Pustipad Helpdesk
UKT Covid
Ujian Masuk Mandiri
Monev Perkuliahan Daring
Tracer Study
Sister
Kuliah di UIN
Penerimaan Mahasiswa Baru
Unit Kegiatan Mahasiswa
Kartu Indonesia Pintar (KIP)
Agenda
Change Languange
English
العربية
Indra Keberagamaan (24)
28 April 2022
Oleh: Hamdan Juhannis
Menggugah sekali! Rupanya celoteh saya banyak dicerna oleh para Internis (dokter ahli penyakit dalam) di Makassar. Dampaknya, saya dipanggil ceramah pada kegiatan tarawih bersama yang dilakukan oleh Bagian Penyakit Dalam Unhas. Sudah lama memang berteman dengan banyak dokter ahli penyakit dalam.
Saat ceramah, saya cerita ke mereka bahwa saya senang menerima undangan ceramah, tentu menyesuaikan dengan beberapa kesibukan rutin. Mengapa senang ceramah? Pertama, wadah silaturrahim terbaik, yang banyak terenggut karena covid. Senang bisa berjumpa kembali "face to face" dengan para sahabat lama.
Kedua, selalu ingin menjawab rasa penasaran, apakah ceramah saya bisa menghentikan jamaah untuk melihat Hpnya. Saya bahkan senang menunggu undangan ceramah subuh. Motivasi saya apakah ceramah saya bisa membangunkan orang tidur atau menyegarkan orang ngantuk.
Saya cerita di kalangan Internis. Bahwa konon ada orang ke dokter. Keluhannya susah tidur. Saat bertanya ke para dokter, apa istilah penyakit itu? Serempak menjawab: insomnia. Dalam hati saya, sudah nyambung dengan para dokter ini. Lanjut cerita, Lalu dokternya bilang, "tidak perlu obat, rajin-rajin saja datang dengar ceramah, kamu pasti bisa tertidur." Para dokter semua tertawa, mungkin karena yang saya singgung terkait dengan profesi mereka.
Saya lanjut lagi dengan ilustrasi pada ceramah saya. Konon di hari kemudian nanti, ada dua orang yang mau masuk surga. Satunya penceramah, satunya sopir angkot. Orang Makassar menyebutnya: pete'-pete'. Setelah dicek buku pahalanya, ternyata sopir angkot yang duluan masuk di banding penceramah. Penceramahnya protes karena pekerjaannya sangat mulia selama di dunia. Malaikat menjawab, sopir angkot ini sering ugal-ugalan sehingga menyadarkan penumpang untuk selalu istigfar. Sementara anda setiap ceramah pasti membuat jamaah tertidur.
Motivasi saya yang ketiga, apakah ceramah saya mampu mengurangi peluang terjadinya "masyarakat bungkuk" dengan harapan jamaah menegakkan badan menyimak ceramah saya, bukan sambil saya ceramah mereka membungkuk menggerayangi Hp mereka. Masih motivasi yang ketiga, apakah ceramah saya bisa mengurangi peluang terjadinya "masyarakat mata juling", sambil saya ceramah misalnya, pura-pura menyimak ceramah dengan mata tertuju ke saya sebagai penceramah, padahal matanya melirik ke Hpnya.
Ilustrasi di atas adalah satire buat diri saya sebagai penceramah dan buat para penceramah-penceramah lainnya. Makassar gudangnya para Penceramah. Kegiatan ceramah sangat hidup yang menjadi ritual keagamaan terpenting masyarakat. Tapi apakah dengan ceramah betul mampu meningkatkan kualitas keberagamaan masyarakat? Apakah ceramah bukan hanya sebagai rutinitas keagaamaan? Apakah ceramah bukan sebagai "penjajahan kognoitif" semata, semua issu sosial dikeluarkan seketika itu? Apakah ceramah tidak akan mengakibatkan masyarakat anti ceramah?
Ilustrasi, anekdot, dan pertanyaan-pertanyaan di atas adalah gugatan metodologis tentang upaya meningkatkan peran ceramah untuk menghadirkan kualitas keberagamaan. Itulah, setiap sudah kultum di masjid kampus, saya mengajak penceramah dan pimpinan untuk mereview ceramahnya. Aspek mana yang perlu diperkuat supaya jamaah mau menyimak dan menyelami pesan-pesan kebenaran yang terbentang setiap saat dan mungkin saja menjenuhkan bagi mereka.
Kembali ke materi pembuka saya di acara para Internis, tampaknya sangat jitu hasilnya, sampai saya selesai ceramah, tidak ada satupun supervisor dan residen bagian Penyakit Dalam yang melihat Hpnya. Berbeda di tempat lain, tiga kali saya ulang-ulangi motivasi ketiga saya ceramah, masih saja ada jamaah yang tetap asyik, syahdu, dan fokus dengan Hpnya, tidak menyimak sama singgungan yang saya ulangi tiga kali. Siapa dia? Tidak tahu namanya, tapi pastinya, dia jamaah laki-laki.