Start typing & press "Enter" or "ESC" to close
Indonesian
English
العربية
Home
Profil
Pimpinan UIN
Sejarah UIN
Lambang
Visi Misi & Tujuan
Struktur Organisasi
Quality Assurance
Kerjasama Kemitraan
Dasar Hukum Pengelolaan
Pedoman dan Panduan Pengelolaan
Fakultas
Syariah & Hukum
Ekonomi & Bisnis Islam
Tarbiyah & Keguruan
Ushuluddin & Filsafat
Dakwah & Komunikasi
Adab & Humaniora
Sains & Teknologi
Kedokteran & Ilmu Kesehatan
Program Pascasarjana
Lembaga
LEMBAGA
Penjaminan Mutu
Penelitian & Pengabdian Masyarakat
UPT
Pusat Teknologi Informasi dan Pangkalan Data
Perpustakaan
Pusat Bahasa
PUSAT
Pusat Studi Gender dan Anak
Pusat Pengembangan Bisnis
Satuan Pengawas Internal (SPI)
International Office (IO)
Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID)
Biro
Biro AUPK
Keuangan
Kepegawaian
Perencanaan
Umum
Biro AAKK
Akademik
Kemahasiswaan
Kerjasama
Sistem Informasi
Portal Mahasiswa Dan Dosen
Portal Alumni Dan Karir
Portal Kepegawaian/SDM
E-Kinerja
Kuliah Kerja Nyata
SOP
KIP
Capaian Indikator Kinerja Utama (IKU)
Rumah Jurnal
Repository
Ebook
OPAC
Sistem Pengecekan Ijazah dan Transkrip
Registrasi Mahasiswa Baru
Pustipad Helpdesk
UKT Covid
Ujian Masuk Mandiri
Monev Perkuliahan Daring
Tracer Study
Sister
Kuliah di UIN
Penerimaan Mahasiswa Baru
Unit Kegiatan Mahasiswa
Kartu Indonesia Pintar (KIP)
Agenda
Change Languange
English
العربية
Indra Keberagamaan (23)
25 April 2022
Oleh: Hamdan Juhannis
Saya ingin berceloteh tentang tukang cukur dan keikhlasan. Ada fenomena menarik sejak covid. Banyak laki-laki memilih berjarak dengan tukang cukur langganannya. Alasannya, takut tertular melalui alat-alat yang dipakainya saat dicukur.
Jadinya, ada yang memilih membiarkan rambutnya gonrong. Ada yang meminta tolong sama temannya untuk saling memotong rambut. Ada yang pergi beli alat cukur sendiri, lalu isterinya diminta memotong rambutnya. Kembali lagi ke multitasking isteri, sampai urusan gunting rambutpun, mereka harus turun tangan.
Saya sudah pernah melakukan semua yang saya sebutkan di atas, sampai saya menemukan cara baru, memanggil tukang cukur datang ke tempat saya, mengikuti cara teman. Tentu dengan bayaran tambahan, minimal dua kali lipat dari bayaran normal. Saya bahkan pernah sekali memberinya 4 kali lipat dari harga normal, tapi saya hentikan, takut dia terbiasa, dan saya sudah tidak bisa. Nasib, orang seperti saya yang belum selesai dengan dirinya.
Inilah topik sesungguhnya celoteh saya. Tukang cukur panggilan saya itu tidak setiap saat bisa dipanggil, karena punya tempat kerja sendiri dan ada kegiatan lainnya. Jadi selalu saya menunggu waktu yang tepat darinya. Info dari dia, sekarang bisanya singgah hanya sabtu atau minggu. Hari ini saya cukur sama dia, setelah menunggu beberapa hari. Sekali dicukur saya kasih 50 ribu dari tarif normalnya, 20 ribu. Yang merasa anak-anak, bisa dibawahnya.
Hari ini saya sedikit repot, karena tidak punya uang pas 50 ribu, adanya uang 100 ribu. Jadi proses cukurnya begitu lama baru dimulai karena saya disibukkan dengan mencari uang 50. Saking repotnya, sampai saya meminta uang 50 pada orang yang sering saya kasih uang 50. Akhirnya dapat.
Pertanyaannya, kenapa sepelit itu saya tidak langsung memberikan saja uang 100 ribu? Hitung-hitung ini bulan ramadan, bulan berbagi. Bukankah Uang 50 ribu sisanya bisa dicari gantinya, dibanding kebahagiaan si tukang cukur yang diberi sadaqah?
Saya ingin mengindra bahwa fenomena ini sebagai gejala keberagamaan seseorang. Pada diri saya, sedang berkecamuk antara keinginan bersadaqah dengan prilaku minus si tukang cukur di benak saya. Di satu sisi, saya ingin memberikan uang tambahan sebagai langganan saya, namun di lain sisi, saya diganggu oleh perasaan sulitnya memanggil dia setiap saat, padahal bayarannya sudah saya lebihkan. Saya hitung-hitungan pada dia di satu sisi, karena dia juga hitung-hitungan sama saya di sisi lain, semua menderu dibenak saya, bukan dibenak si tukang cukur.
Saya memutuskan tidak memberikan tambahan uang capek, karena saya menimbang dia tidak menjalankan tugasnya lebih banyak dari seharusnya. Saya meminta untuk datang di hari kerja, bisanya di hari libur. Saya meminta datangnya agak siang, bisanya pagi. Semua saya ikuti, karena ketergantungan sama dia. Itulah dalil "ketergantungan membunuh kreatifitas."
Pertanyaan intinya, apa yang terjadi pada saya? Absennya keikhlasan diri! Keikhlasan dikaburkan oleh hitungan untung-rugi. Keikhlasan dimatikan oleh kalkulasi material. Keikhlasan dilumpuhkan oleh nalar yang berlebihan. Keikhlasan ditimbun oleh sikap membanding-bandingkan. Keikhlasan tidak jamin oleh perasaan yang sudah ikhlas. Keikhlasan itu adalah "giving for granted" tanpa embel-embel. Keikhlasan itu demi ridha Tuhan, bukan untuk tujuan supaya "impas".
Keikhlasan tidak tersenggol oleh pemberian atau balas budi. Andai saya ikhlas hari itu, saya tancapkan dalam hati, "mudah-mudahan uang 100 ribu ini, bermakna pada dirinya. Apapun balasan dari Tuhan karena pemberian ini, pasti yang terbaik bagi saya." Tapi sedih juga, yang muncul di hati saya hari ini: "sudah dikasih lebih, masih saja susah dipanggil, malas deh."
Itulah, orang-orang yang rajin berbagi, sudah melewati kepentingan sesaatnya pada sesama atau sudah jauh dari "in-return mindset". Hatinya tidak mudah dibolak-balikkan oleh situasi yang mengitarinya. Keikhlasan memang berat, maqamnya tinggi dalam proses keberagamaan kita. Keikhlasan butuh pembiasaan untuk proses internalisasi, terutama mengontrol variabel pengganggu. Mari kita sama-sama berlatih, bisa dimulai dengan yang ringan-ringan; mengirimi takjil buka puasa seperti: barongko, Cantik-manis, Lumpur asin, Palita, Cangkuning, dan Katarisallang. Tidak usah Kue lapis, bukan favorit, atau mentahnya tidak apa-apa. Tapi jangan lupa mencontreng indikator ikhlas di atas!