Gambar Indra Keberagamaan (22)
Banyak yang tersisa dari respon atas celoteh saya tentang Hari Kartini. Dari 20 edisi coretan, barusan saya mendapatkan tanggapan yang sangat bergemuruh. Betul, Ragam tema dan isu yang telah saya angkat, tetap tidak mampu mengalahkan magnet kaum perempuan. Bahkan ada pengakuan terbuka dari seorang teman, baru pertama kali membaca tuntas coretan saya, saat menulis tentang Kartini.
Kalimat pertama saya yang bertutur tentang ketangguhan perempuan, sudah langsung disambar oleh banyak komentar, tak terkecuali sambaran sahabat saya yang juga seorang pengusaha, H. Baharuddin Abu. Katanya: "Siapa yang menyangsikan ketangguhan perempuan, yang selalu mencari "obat kuat" justru dari kaum lelaki."
Saya tak kuasa menahan tawa dari untaian Pak Haji Bahar karena yang selalu terlibat transaksi obat-obatan jenis ini, memang hanya dari kaum lelaki. Sahabat saya yang lain, Prof. Hasanuddin Tahir, dokter gigi senior, bahkan menyuruh saya "mengasingkan" diri satu bulan saja kalau saya mampu lepas dari "ayunan" isteri, katanya kalau anda sanggup, "jagoko" (kamu jagoan). Saya hanya menjawab: dua hari saja pergi berjalan dinas, sudah langsung mau pulang karena "bekal kemandirian" sudah habis.
Teman yang lain betul-betul menguliti kerapuhan kaum lelaki. Saat saya menforward percakapan saya di sebuah group ke group lain segera setelah mengirim tulisan, rupanya "forward"an tersebut terbalik-balik tidak runtut. Saya menghapusnya sambil meminta maaf kalau tidak jadi menforward. Prof. Adi Maulana, dosen Unhas, langsung muncul menyela, itulah laki-laki Pak HJ, tidak mampu melakukan multitasking. Teman lain melanjutkan, kalau perempuan yang forward pasti tidak terbalik-balik meskipun dia sedang makan sahur dan menjajaki online shooping.
Kata teman lain, Dr. Upi, "Jangan biarkan laki-laki mencari barang yang hilang, karena dia tidak akan temukan." Disambung oleh teman lain, "barang yang ada saja terkadang mereka hilangkan." Dr. Tuti Tamrin melengkapi, "Karena laki-laki mencari dengan mulut, bukan dengan mata." Situasi ini dikonfirmasi oleh pengakuan Dr. Amil, teman seperjuangan main catur sejak dari kampung. Katanya, dia rela kecurian laptop saat menonton bola di subuh hari. Laptop yang ditaruh di atas meja dicuri dengan cara jendela dicungkil pencuri sembari dia menonton serunya permainan bola.
"Kaum lelaki bukan hanya tidak suka detail tapi juga sangat pelupa, yang diingat kalau lupa sesuatu." Kata teman lainnya. Sebuah kalimat yang menitiknadirkan posisi kami, kaum lelaki. Meskipun baru saja saya telpon sahabat dekat, Dr. Andi Aderus. Saya bilang saya lupa menelpon balik karena agak sibuk. Apa gerangan?" Pak Andi menjawab: "Saya-pun sudah lupa apa yang saya telponkan." Ciri orang yang bisa multitasking adalah daya ingatnya bagus yang membuat kerjanya runtut.
Dalam kaitan dengan kemampuan tugas ganda, seorang dosen muda, Eva Siraj, bertanya secara reflektif. Pernahkah anda melihat laki-laki menggendong bayi ke kampus sambil mengajar? Perempuan rela menapaki tangga dengan menggendong bayinya sampai ke lantai tiga sekalipun. Pernahkah wahai para ayah terbangun tengah malam ketika bayinya minta susu? Katanya, tangisan bayi justeru menjadi nyanyian merdu pelelap tidurnya.
Ciutan lain yang lebih menusuk lagi datang dari teman kuliah saya dulu, Haji Arifin, "Tidak banyak perempuan yang ditinggal mati suaminya, memilih menikah lagi, bandingkan dengan laki-laki." Saya tidak ingin secepatnya mengiyakan, meskipun ada bukti. Ibu saya yang ditinggal mati oleh ayah sejak usianya masih muda, setia menjanda sampai nenek tua.
Masih banyak lagi. Kata kunci saya, ketangguhan perempuan berefek pada harapan hidup mereka yang lebih tinggi dibanding laki-laki. Tidak yakin? Cek data perbandingan harapan hidup antara laki-laki dan perempuan di semua negara!
Sampai pada ulasan kemampuan multitasking, ketangguhan dan kesetiaan perempuan, saya ingin menutup coretan ini dengan justifikasi dari seorang Sosiolog Unhas, "itulah mengapa ada 'organisasi' Ikatan Suami Takut Isteri (ISTI) dan tidak pernah terdengar sebaliknya." Bahwa sebenarnya "suami bukannya takut pada isteri tapi isteri yang lebih berani" mungkin menjadi realitas yang diungkap oleh ustad kondang kita, Das'ad Latief.
Namun menurutku, menjadi "ISTI" atau menjadi "suami penakut" atau apapun istilah yang menunjukkan inferioritas suami, adalah strategi posisi yang diambil oleh kaum lelaki untuk memberikan penghargaan yang terbaik atas segala pengabdian tanpa batas dari para isteri, ibu anak-anak kita, para Kartini-Kartini hebat. Faktanya, adakah di antara para suami yang menjadi marah, tersinggung, menolak, baper, sedih, muka memerah, dan leave group saat mereka dibully sebagai anggota ISTI? Sekali lagi, adakah? Yang ada, hanya yang suka tanya-tanya jenis obat kuat nan manjur.
Suka
 
 
 
Komentari
 
 
Bagikan