Start typing & press "Enter" or "ESC" to close
Indonesian
English
العربية
Home
Profil
Pimpinan UIN
Sejarah UIN
Lambang
Visi Misi & Tujuan
Struktur Organisasi
Quality Assurance
Kerjasama Kemitraan
Dasar Hukum Pengelolaan
Pedoman dan Panduan Pengelolaan
Fakultas
Syariah & Hukum
Ekonomi & Bisnis Islam
Tarbiyah & Keguruan
Ushuluddin & Filsafat
Dakwah & Komunikasi
Adab & Humaniora
Sains & Teknologi
Kedokteran & Ilmu Kesehatan
Program Pascasarjana
Lembaga
LEMBAGA
Penjaminan Mutu
Penelitian & Pengabdian Masyarakat
UPT
Pusat Teknologi Informasi dan Pangkalan Data
Perpustakaan
Pusat Bahasa
PUSAT
Pusat Studi Gender dan Anak
Pusat Pengembangan Bisnis
Satuan Pengawas Internal (SPI)
International Office (IO)
Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID)
Biro
Biro AUPK
Keuangan
Kepegawaian
Perencanaan
Umum
Biro AAKK
Akademik
Kemahasiswaan
Kerjasama
Sistem Informasi
Portal Mahasiswa Dan Dosen
Portal Alumni Dan Karir
Portal Kepegawaian/SDM
E-Kinerja
Kuliah Kerja Nyata
SOP
KIP
Capaian Indikator Kinerja Utama (IKU)
Rumah Jurnal
Repository
Ebook
OPAC
Sistem Pengecekan Ijazah dan Transkrip
Registrasi Mahasiswa Baru
Pustipad Helpdesk
UKT Covid
Ujian Masuk Mandiri
Monev Perkuliahan Daring
Tracer Study
Sister
Kuliah di UIN
Penerimaan Mahasiswa Baru
Unit Kegiatan Mahasiswa
Kartu Indonesia Pintar (KIP)
Agenda
Change Languange
English
العربية
Indra Keberagamaan (21)
25 April 2022
Oleh: Hamdan Juhannis
Para pembaca, yang saya tulis ini di luar nalar saya tapi nyata. Karena di luar nalar, saya tidak pernah membayangkan kalau ada praktek hidup seperti ini. Masih ingat saat saya meresahkan model sumbangan masjid yang menggunakan sistim celengan? Saya suka mengkritisi model ini karena mencerminkan wajah masyarakat Muslim yang suka menyumbang dengan uang receh. Ini ditandai dengan lubang celengan yang sempit, yang bisanya masuk uang kecil dan uang kertas yang dilipat.
Mungkin masih ingat saat saya menyodorkan sebuah konsep celengan buntu, dan sebagai gantinya empat sisi celengan ditempeli saja dengan barcode QRIS, supaya jamaah terbiasa menyumbang dengan jumlah yang lebih besar sambil membiasakan transaksi online. Itulah keresahan saya. Namun ada yang saya temukan kemarin yang belum pernah saya pikirkan, dan mungkin tidak pernah terjadi di tempat lain.
Ceritanya seperti ini. Saya bersilaturrahim ke salah seorang tokoh. Saya tidak sebut namanya, karena saya belum minta izin untuk saya kaitkan dalam celoteh indra keberagamaan saya. Saya sengaja menghadap untuk menyimak ragam motivasi hidup sekalian ingin mengajak beliau jalan-jalan ke kampus saya. Sudah lama memang mencari waktu beliau, dan karenanya saya menikmati secara detail cerita-cerita inspiratifnya.
Siapa beliau? Beliau orang kaya atau lebih tepatnya sangat kaya. Tapi beliau tidak bercerita tentang kekayaannya, namun mengkontekstualisasi cerita kekayaan dan keterberdayaan. Menurutnya, seseorang yang bila hidupnya ingin mandiri dalam segala hal, kuncinya menjadi orang kaya terlebih dahulu.
Tibalah waktu shalat jumat, saya ikut shalat di tempat beliau. Yang mengagetkan, sambil membaca zikir rutin setelah shalat, secara tidak sengaja saya melihat ke arah pinggir jamaah, ada orang yang memegang celengan. Saya bertanya dalam hati, kenapa celengan diedarkan di ujung perhelatan ibadah shalat, bukankah biasanya celengan itu didorong saat khatib menyampaikan khutbahnya.
Mulailah diedarkan celengan itu dari arah ujung depan. Saya meliriknya, lubangnya besar. Ternyata setiap jamaah mengambil uang dari celengan itu. Sampailah celengan itu di depan saya, dan anak muda yang membawa celengan itu membisiki saya bahwa saya bisa mengambil uang kertas yang ada di dalamnya 3 kali berturut-turut, dan setiap mengambilnya hanya boleh mengambil satu uang kertas. Saya tidak mengecek jumlah uang yang ada di dalamnya, tapi menurut jamaah, biasanya uang yang ada di dalamnya terdiri dari uang 100 dan 50 ribu.
Kasus di depan mata saya ini membalikkan kesadaran kolektif atau kita istilahkan fakta sosial tentang celengan. Celengan masjid identik dengan pengisian, kalau yang ini justeru proses pengosongan. Celengan identik dengan lubang kecil, yang ini cocok masuk satu lengan untuk menjelajah mengambil uang jenis apa saja di dalamnya, tergantung keberuntungan.
Saya bertanya kepada beliau sebagai pemilik tempat itu, dari mana inspirasi "gila" ini? Jawaban beliau lebih mengagetkan: "Dari keinginan untuk menunjukkan bahwa kebermanfaatan itu bisa ditebar dari sisi yang tidak pernah terbayang sekalipun." Saya bertanya, tujuan yang lain? Respon beliau: "Merubah fungsi celengan sebagai penadah sumbangan-sumbangan kecil menjadi penyuplai keberlangsungan hidup umat. Juga, semakin banyak celengan yang berubah fungsi, pertanda semakin sehat pengelolaan lembaga umat." Saya menggeleng keras ala orang India, tanda mulai mengerti alur logikanya.
Di mana sebenarnya tempat kejadian yang saya cerita ini? Dengan segala maaf, saya tidak bisa beberkan. Bukan hanya tidak punya izin, tapi yang saya temani shalat jumat, bahkan berencana untuk membawa anak-anaknya ke sana Jum'at depan. Lagi pula, saya tidak ingin menjadi penyebab terjadinya kepadatan dan kesesakan shalat berjamaah di sana. Saya juga tidak ingin menjadi pemicu orang datang shalat jum'at ke sana bukan karena ikhlas tapi untuk memasukkan tangannya pada celengan ajaib itu.
Satu lagi, segera setelah saya mengambil isi celengannya, seketika itu menengok ke belakang. Syukurlah, staf dan sopir saya ada di antara barisan jamaah.