Start typing & press "Enter" or "ESC" to close
Indonesian
English
العربية
Home
Profil
Pimpinan UIN
Sejarah UIN
Lambang
Visi Misi & Tujuan
Struktur Organisasi
Quality Assurance
Kerjasama Kemitraan
Dasar Hukum Pengelolaan
Pedoman dan Panduan Pengelolaan
Fakultas
Syariah & Hukum
Ekonomi & Bisnis Islam
Tarbiyah & Keguruan
Ushuluddin & Filsafat
Dakwah & Komunikasi
Adab & Humaniora
Sains & Teknologi
Kedokteran & Ilmu Kesehatan
Program Pascasarjana
Lembaga
LEMBAGA
Penjaminan Mutu
Penelitian & Pengabdian Masyarakat
UPT
Pusat Teknologi Informasi dan Pangkalan Data
Perpustakaan
Pusat Bahasa
PUSAT
Pusat Studi Gender dan Anak
Pusat Pengembangan Bisnis
Satuan Pengawas Internal (SPI)
International Office (IO)
Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID)
Biro
Biro AUPK
Keuangan
Kepegawaian
Perencanaan
Umum
Biro AAKK
Akademik
Kemahasiswaan
Kerjasama
Sistem Informasi
Portal Mahasiswa Dan Dosen
Portal Alumni Dan Karir
Portal Kepegawaian/SDM
E-Kinerja
Kuliah Kerja Nyata
SOP
KIP
Capaian Indikator Kinerja Utama (IKU)
Rumah Jurnal
Repository
Ebook
OPAC
Sistem Pengecekan Ijazah dan Transkrip
Registrasi Mahasiswa Baru
Pustipad Helpdesk
UKT Covid
Ujian Masuk Mandiri
Monev Perkuliahan Daring
Tracer Study
Sister
Kuliah di UIN
Penerimaan Mahasiswa Baru
Unit Kegiatan Mahasiswa
Kartu Indonesia Pintar (KIP)
Agenda
Change Languange
English
العربية
Indra Keberagamaan (19)
22 April 2022
Oleh: Hamdan Juhannis
Saya masih "stuck" pada celoteh tentang cara berbahasa kita. Cukup banyak respon dari teman-teman yang lucu tapi bermakna. Sebelumnya, saya perjelas bahwa kedekatan yang saya maksud yang menyebabkan cara berbahasa kita menjadi kasar adalah kedekatan yang setara, tanpa hambatan struktur dan kultur.
Ketika saya menutup tulisan, mengertiko semua? Sahabat saya, Dr. Abdul Haris Hamid, menjawab di group chat: Iyo! Kata "Iyo" adalah bentuk kasar dari "iye." Rupanya Pak Haris sedang memperagakan sebuah jawaban setara dari pertanyaan yang dianggapnya kasar karena kedekatan. Bahkan teman lain lebih kasar lagi caranya menyikapi teman yang sudah sangat dekat dengan sangat informal ketika memanggil: "woi", "anu", atau bahkan "preeet".
Namun di sisi lain, ada fenomena menarik dari pelajaran Bahasa Indonesia kita. Sebenarnya gerakan penghalusan bahasa sudah dilakukan sejak dulu. Ini yang menjadi diskusi pada teman-teman yang berada dalam group silaturrahim, Australian National University (ANU). Kebetulan sekali, contohnya kata: "anu". Kata "anu" mewakili banyak hal yang tidak bisa disebut karena kata itu kasar atau benda itu tabu untuk disebut. Seorang professor Bahasa Indonesia di ANU Canberra, mengabadikan tulisan di pintu ruang kerjanya, "ANUmu bukan ANUku, ANUku bukan ANUmu. Tapi ANUmu dan ANUku sama-sama ANU. Professor ini memainkan dua hal, pertama sebagai singkatan nama perguruan tinggi dan kedua, tentu dia sangat paham bagaimana kata ini digunakan dalam konteks berbahasa kita di Indonesia.
Penghalusan menurut salah satu teman di group ANU, terjadi ketika menunjuk profesi kasar atau pekerjaan yang tidak dikehendaki. Pembantu rumah tangga diperhalus menjadi Asisten Rumah Tangga. Pelacur diperhalus menjadi Tuna susila. Orang gila bukannya dipendekkan menjadi Orgil tapi menjadi ODGJ. Gelandangan diganti menjadi tuna wisma, orang cacat disebut difabel, itu kalau di Indonesia. Kalau di Malaysia namanya: Orang yang kurang upaya. Kalau di kita, orang yang kurang upaya namanya: malas.
Itulah, saya tetap ingin memperkuat tesis bahwa semakin ingin menjarakkan diri dengan sebuah situasi sosial, maka semakin diperhalus cara penyebutannya. Dulu di kampus, Wakil Rektor disebut Pembantu Rektor. Apa bedanya makna dengan pembantu yang ada di rumah Rektor? Karena kerancuhan istilah ini, terjadilah kasus berikut ini.
Seorang Pembantu Rektor yang tinggal di kompeks perumahan. Dia pergi ke pos jaga menyampaikan ke Satpam di kegelapan. Dia mengatakan kalau televisinya dicuri. Satpam tersebut bertanya, anda siapa? Karena tidak bisa menandai mukanya. Dia menjawab saya Pembantu Rektor (Wakil Rektor). Satpam merespon: sudah pembantu, kurang waspada lagi!