Indra Keberagamaan (17) Oleh: Hamdan Juhannis
Saya tertarik pada materi kultum di kampus beberapa hari yang lalu, dibawakan oleh Ustad Dr. Kamaluddin Abunawas, salah satu Wakil Rektor di kampus saya. Dr. Kamal berbicara tentang Qur'an sebagai kitab akhlak.
Salah satu ciri khas pelajaran akhlak dalam Qur'an, adalah apresiasi Allah terhadap Rasulnya, Muhammad, ketika memanggilnya dengan posisinya, wahai Rasul, wahai Nabi, wahai yang Berselimut. Kalaupun Nabi disebut namanya, selalu diikuti dengan kedudukannya; Muhammad, utusan Allah.
Lalu berkembanglah ulasannya Dr. Kamal bahwa penghargaan Qur'an tersebut tidak terlepas dari tradisi nasab bangsa Arab yang terbiasa memanggil seseorang dengan menyematkan posisinya sebagai ayah dari anaknya. Sama dengan tradisi masyarakat kita, pada berbagai suku, misalnya tradisi pada masyarakat kota, seorang ibu dipanggil, Ibu Desi, Ibu dari anak tertuanya yang bernama Desi.
Kebiasaan ini menyebar pada pasangan muda saat ini yang memiliki anak, misalnya: Bapak Habibie, Bapak Afifah, Bapak Zain (yang kesemuanya berarti Ayah dari nama anaknya). Nama yang saya sebut ini adalah sahabat saya yang sudah bertahun-tahun yang saya panggil seperti itu, sampai saya sering lupa nama asli mereka yang sebenarnya.
Saya sendiri sering dipanggil dengan ragam cara oleh teman-teman. Orang kampus sering memanggil saya berdasar jabatan sementara saya. Mahasiswa memanggil saya Pak Prof, jabatan fungsional sebagai dosen. Isteri panggil saya daeng (berarti kakak, cara orang Bugis memanggil orang dekatnya). Kadang juga panggil saya Bapak, sebagai Bapak dari anak-anak. Kolega memanggil saya: Pak Hamdan.
Teman-teman dekat memanggil saya: Prof. HJ, singkatan nama. Yang lebih dekat memanggil saya: bro (brother). Yang lebih dekat lagi memanggil saya: HJ. Keluarga dekat memanggil saya: ndik (adik) atau daeng (kakak).
Rupanya semua cara di atas dilakukan dengan segala modifikasi yang tujuannya adalah memberi penghargaaan, jarang sekali terjadi kasus memanggil dengan nama langsung. Adapun pemberian nama HJ adalah penghargaan dengan mengikuti trend menyebut singkatan dari awalan kata nama.
Bahkan kelompok masyarakat tertentu merelakan hadirnya kesalahan masif penggunaan aturan tata bahasa semi kesopanan, misalnya, penggunaan kata "antum" yang berarti "anda semua" (orang kedua jamak) padahal untuk menunjuk anda sendiri (kedua tunggal), atau cara orang Makassar menggunakan kata 'kita" yang ditujukan pada orang kedua tunggal. "Dia isteri kita?" Suaminya menjawab: "Dia isteri saya, bukan isteri kita." Yang menjawab belum memahami penggunaan kata ganti "kita" pada konteks orang Makassar.
Menyebut nama dengan memposisikan orang itu bahkan sudah lama menjadi tradisi lokal, misalnya tradisi memberikan gelar penghargaan sesuai dengan situasi yang mengitarinya, misalnya dalam tradisi "paddaengeng" (penghargaan kepada yang tua) bagi orang Makassar; Daeng Kebo (kakak putih, karena orangnya putih). Daeng Kulle (kakak kuat, karena misalnya orangnya kekar) atau Daeng Rannu (Kakak gembira).
Artinya, nilai-nilai Qur'an menembus ragam suku dan peradaban, bahkan sampai penghargaan dalam menyebut nama seseorang. Meskipun Qur'an kitab suci umat islam tetapi nilai yang dibentangkan bersifat universal. Dalam tradisi Barat, memanggil orang itu bisa langsung dengan namanya, tapi pentingnya nama kedua orang dalam tradisi mereka menunjukkan bahwa penghargaan terhadap nasab itu penting, misalnya: Hamdan Juhannis, dipanggilnya: Mr. Juhannis.
Namun pemberian gelar nama yang menyematkan kondisi biologis dan sifat seseorang sejatinya perlu memperhatikan aspek kesopanan, supaya tidak kebablasan: Daeng le'leng (Kakak Hitam), Daeng Koro (kakak pemarah).