Start typing & press "Enter" or "ESC" to close
Indonesian
English
العربية
Home
Profil
Pimpinan UIN
Sejarah UIN
Lambang
Visi Misi & Tujuan
Struktur Organisasi
Quality Assurance
Kerjasama Kemitraan
Dasar Hukum Pengelolaan
Pedoman dan Panduan Pengelolaan
Fakultas
Syariah & Hukum
Ekonomi & Bisnis Islam
Tarbiyah & Keguruan
Ushuluddin & Filsafat
Dakwah & Komunikasi
Adab & Humaniora
Sains & Teknologi
Kedokteran & Ilmu Kesehatan
Program Pascasarjana
Lembaga
LEMBAGA
Penjaminan Mutu
Penelitian & Pengabdian Masyarakat
UPT
Pusat Teknologi Informasi dan Pangkalan Data
Perpustakaan
Pusat Bahasa
PUSAT
Pusat Studi Gender dan Anak
Pusat Pengembangan Bisnis
Satuan Pengawas Internal (SPI)
International Office (IO)
Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID)
Biro
Biro AUPK
Keuangan
Kepegawaian
Perencanaan
Umum
Biro AAKK
Akademik
Kemahasiswaan
Kerjasama
Sistem Informasi
Portal Mahasiswa Dan Dosen
Portal Alumni Dan Karir
Portal Kepegawaian/SDM
E-Kinerja
Kuliah Kerja Nyata
SOP
KIP
Capaian Indikator Kinerja Utama (IKU)
Rumah Jurnal
Repository
Ebook
OPAC
Sistem Pengecekan Ijazah dan Transkrip
Registrasi Mahasiswa Baru
Pustipad Helpdesk
UKT Covid
Ujian Masuk Mandiri
Monev Perkuliahan Daring
Tracer Study
Sister
Kuliah di UIN
Penerimaan Mahasiswa Baru
Unit Kegiatan Mahasiswa
Kartu Indonesia Pintar (KIP)
Agenda
Change Languange
English
العربية
Indra Keberagamaan (16)
18 April 2022
Oleh: Hamdan Juhannis
"Makin maju sebuah peradaban, makin imajinatif uang mereka." Demikian respon Prof. Ardy Arsyad, teman dari Unhas. Teman lain menyebut adanya revolusi masyarakat yang disebut: "cashless society", masyarakat tanpa uang cash. "Anak-anak sekarang tidak lagi meminta uang jajan, tapi: gopay, OVO, dana, dll." Demikian seloroh teman lainnya. Jadi, uang tidak lagi selalu berbentuk kertas. Maaf, saya tidak berbicara tentang mata uang kripto. Belum paham saya.
Bahkan seorang dosen senior, Hadi Daeng Mappunna, menunjuk bahwa istilah orang berduit dengan analogi "dompet tebal" tidak lagi relevan, karena makin kaya seseorang itu makin tipis dompetnya, hanya diisi oleh kartu-kartu dan transaksinya semua dari Hp.
Menurut Pak Hadi, transaksi keuangan dan sosial lainnya semua sudah bisa selesai di ujung jari. Bahkan sumbangan apapun sudah bisa dilakukan dengan moda digital, termasuk pembayaran zakat. Pak Hadi bahkan melihat bahwa tidak ada pilihan lain kecuali belajar untuk masuk dalam arus transaksi digital kalau tidak ingin kesulitan. Katanya, jangan sampai suatu saat nanti pergi ke toko sebelah untuk memberi barang kecil seperti sabun dan indomie tapi tertolak karena penjualnya tidak lagi menerima uang cash.
Tapi ada hal yang mempesona, yang menurutku menjadi poin diskusi orang terdidik ini yang sering mendebat persoalan mereka sendiri. Konon kata teman-teman terdidik ini, homo sapiens adalah manusia purba yang berjuang berdiri tegak karena urat saraf tangannya terlalu sensitif untuk menopang tubuh mereka akibat terlalu sering dipakai membuat perkakas. Jadi ketika mereka memaksa berdiri tegak adalah evolusi hebat karena begitu berat dan besarnya otak kepala mereka yang harus ditopang.
Saya-pun mencoba menerka arah diskusi teman-teman ini yang menurutku layak disebut sebagai kontradiksi. Ada kekhawatiran mereka bahwa manusia sekarang akan mengalami evolusi balik untuk kembali membungkuk dan tidak lagi tegak karena generasi sekarang menghabiskan hampir semua waktunya untuk menunduk pada layar gadget mereka termasuk ketika mereka bertransaksi. Saya tidak tahu, terlalu berat bagi saya untuk saya tanggapi masalah homo sapiens ini, takutnya kembali lagi ke pelajaran SD tentang Pithecantropus Erectus yang bukan hanya sudah lupa tapi terlalu jauh mundur dari tema sentral celoteh saya.
Saya sendiri belum berfikir jauh bahwa gadget bisa membawa evolusi baru manusia sekarang, yang saya pikir justeru akan lahirnya "cross-eyed society" (masyarakat mata juling). Sedikit-sedikit pasti melirik hp, biar sementara bicara dengan orang lain