Start typing & press "Enter" or "ESC" to close
Indonesian
English
العربية
Home
Profil
Pimpinan UIN
Sejarah UIN
Lambang
Visi Misi & Tujuan
Struktur Organisasi
Quality Assurance
Kerjasama Kemitraan
Dasar Hukum Pengelolaan
Pedoman dan Panduan Pengelolaan
Fakultas
Syariah & Hukum
Ekonomi & Bisnis Islam
Tarbiyah & Keguruan
Ushuluddin & Filsafat
Dakwah & Komunikasi
Adab & Humaniora
Sains & Teknologi
Kedokteran & Ilmu Kesehatan
Program Pascasarjana
Lembaga
LEMBAGA
Penjaminan Mutu
Penelitian & Pengabdian Masyarakat
UPT
Pusat Teknologi Informasi dan Pangkalan Data
Perpustakaan
Pusat Bahasa
PUSAT
Pusat Studi Gender dan Anak
Pusat Pengembangan Bisnis
Satuan Pengawas Internal (SPI)
International Office (IO)
Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID)
Biro
Biro AUPK
Keuangan
Kepegawaian
Perencanaan
Umum
Biro AAKK
Akademik
Kemahasiswaan
Kerjasama
Sistem Informasi
Portal Mahasiswa Dan Dosen
Portal Alumni Dan Karir
Portal Kepegawaian/SDM
E-Kinerja
Kuliah Kerja Nyata
SOP
KIP
Capaian Indikator Kinerja Utama (IKU)
Rumah Jurnal
Repository
Ebook
OPAC
Sistem Pengecekan Ijazah dan Transkrip
Registrasi Mahasiswa Baru
Pustipad Helpdesk
UKT Covid
Ujian Masuk Mandiri
Monev Perkuliahan Daring
Tracer Study
Sister
Kuliah di UIN
Penerimaan Mahasiswa Baru
Unit Kegiatan Mahasiswa
Kartu Indonesia Pintar (KIP)
Agenda
Change Languange
English
العربية
Indra Keberagamaan (15)
18 April 2022
Oleh: Hamdan Juhannis
Kita ulas sedikit tentang transaksi digital untuk menggugah tingkat kepercayaan, meskipun saya juga baru memahami secuil dari sistem transaksi seperti ini. Anggaplah ini sebagai kelanjutan dari pembahasan tentang sifat kenabian, amanah.
Adalah respon dari sahabat saya, Hasvan Murphy, Kepala MayBank Indonesia Timur yang menyulut saya untuk membahas masalah yang belum saya pahami benar. Pak Hasvan menunjuk kasus tukang becak yang bisa tidak amanah hanya karena uang kembalian. Menurutnya, masalah itu bisa terpecahkan sekiranya dilakukan transaksi elektronik.
Lalu teringatlah saya mengapa pemerintah selalu mendorong sistem transaksi elektronik itu dilakukan dalam setiap level transaksi, mulai dari penerimaan gaji, penghonoran, sampai pada pengadaan barang dan jasa. Bukan hanya secara elektronik tapi bahkan secara online, yang tujuannya mencegah kebocoran dan mewujudkan keterbukaan (transparency).
Lalu Pak Hasvan menunjuk bahwa sekiranya sistim pembayaran elektronik itu dilakukan dengan model yang dikembangkan oleh Pemerintah (BI) yaitu: QRIS atau KRIS (Quick Response Code Indonesian Standard), dengan melekatkan "barcode"nya di setiap tempat membayar, maka itu dengan sendirinya meningkatkan tingkat keterpercayaan. Lalu Pak Hasvan menunjuk misalnya, pembayaran model QRIS sekarang ini sudah dilakukan di mobil angkot dan di pasar-pasar tradisional.
Saya tertarik juga dengan terobosan transaksi model seperti ini, termasuk melekatkan QRIS pada celengan yang beredar, penyumbang cukup menscan barcode QRIS. Jadinya, celengan itu berfungsi ganda, sebagai penadah sumbangan uang fisik atau kertas dan sumbangan uang elektronik. Kelebihannya, penyumbang juga tidak perlu memegang uang kertas yang mungkin agak kotor karena sering berpindah tangan, dan juga mengurangi memegang benda asing dari luar, doktrin yang lahir dari era covid.
Di samping itu, sumbangan model QRIS seperti ini juga bisa memelihara tingkat keikhlasan karena tidak ada yang mendeteksi, selain si penyumbang dan panitia setelah mengecek rekening masjid. Daripada setengah mati menyembunyikan sumbangan yang mau dimasukkan di celengan, ujung-ujungnya ketahuan juga jumlah sumbangannya karena kotak celengan itu terbuat dari kaca, transparan dari luar. Bahkan saya berfikir, perlunya revolusi cara menyumbang di masjid, yang saya sebut: Model Celengan Buntu. Celengan itu ditutup saja lubangnya untuk membiasakan penyumbang dengan model elektronik dan menghilangkan kebiasaan membawa uang receh ke masjid.
Tapi sejujurnya saya masih menyimpan tanda tanya dengan pembayaran elektronik ini terlepas dari keunggulan akuntabilitasnya. Bahwa model ini terasa mengurangi nilai pada transaksi tradisional masyarakat kita, menyumbang itu lebih afdhal kalau dalam bentuk fisik. Ada kecenderungan masyarakat kita harus melihat dulu uangnya secara fisik baru dimasukkan di Bank.
Lebih dari itu, transaksi tradisional itu didalamnya melibatkan transaksi kemanusiaan; dialog, saling tanya kabar, tawar-menawar, dan bahkan bisa melebar ke pembicaraan urusan sosial lainnya. Itulah kenapa pasar tradisional selalu ada di tengah himpitan mall dan pasar modern, karena disitu ada sistem kekerabatan yang terjalin. Saya pikir, perlu ada jalan tengah untuk menguatkan model transaksi digital sekaligus pembelajaran baru bagi masyarakat akar rumput tapi transaksi kemanusiaan harus tetap terpelihara.
Satu lagi yang "dikorbankan", sejak transaksi elektronik dibudayakan pada berbagai model pembayaran, khususnya gaji dan honor, terjadi proses "pemiskinan" bagi bapak-bapak yang suka menyembunyikan pendapatannya di sela-sela buku, sepatu, songkok, dan lubang-lubang rahasia lainnya, karena hal itu tidak mungkin lagi dilakukan. Tinggal satu harapan, semoga amplop ceramah tetap dipertahankan dengan model pembayaran secara langsung. Ya, hadirnya sebuah sistem baru juga selalu melahirkan tumbal!