Gambar Indra Keberagamaan (13)
Untuk pemahaman takdir jenis ketiga, saya tidak ingin menguras pikiran. Saya mengajak pembaca menyelami respon dari seorang penyair yang sangat ternama, D. Zawawi Imron:
"Saya tak mampu ngomentari Prof Hamdan. Saya tiba-tiba ingat Puisi Muhammad Iqbal, Manusia Khalifah yang berbunyi:
Tuhan,
Engkau yg bikin malam gelap gulita
Tapi aku yang ditugaskan membuat lampu yang terang benderang.
Engkau yang membuat hutan belukar
Aku yg bertugas mengubahnya menjadi lahan pertanian yg subur
Engkau yg membuat racun
Aku yg bertugas membuat obat penawar, dst.
Di sini Iqbal tidak bicara Taqdir yang urusan Tuhan. Manusia cukup melakukan tugas, ikhtiar, dengan semangat dan vitalitas. Semangat dan vitalitas itu bisa dicerahkan dengan semangat Bugis,
Purik babbara sompekku (Layar sudah terkembang)
Purik tangkisi' gullikku (Kemudi sudah terpasang)
Ulebbirenggi telleng natowalie (Lebih baik tenggelam dari pada surut langkah).
Semangat, vitalitas seperti itu kalau didorong oleh Doa, ada optimisme dalam berikhtiar dan kalau gagal siap untuk tidak kecewa dan berusaha lagi.
Wallahu A'lamu bishshawab."
Demikian respon Kyai Zawawi. Jadi penggambaran yang dilakukan oleh beliau adalah tipe yang menggabungkan antara ikhtiar dan penyerahan diri. Tipe ini tidak tertarik mengutak-atik seperti apa takdir itu harus dipahami. Kyai Zawawi menunjuk puisi Iqbal bahwa tugas manusia memaksimalkan fungsi kekhalifaannya, memastikan tanggung jawabnya untuk mengelola ragam ciptaan Tuhan dengan perangkat kreasi yang dimilikinya.
Perangkat kekuatan manusia inilah yang menjelajah dengan cara berikhtiar semaksimal mungkin. Ikhtiar ini diperkuat oleh perangkat lain, "tawakkal" yang dijabarkan oleh Kyai Zawawi sebagai doa. Tujuannya apa? Terwujudnya prinsip kemaslahatan, khususnya kemaslahatan jiwa, yaitu penyandaran. Jiwa manusia harus diselamatkan karena roh kehidupan ada pada jiwa, yang disebut Kyai Zawawi, "tidak mudah kecewa", atau istilah anak muda sekarang, lelah jiwa. Doa inilah yang mengalirkan optimisme sekaligus sebagai pengendali. Keyakinan tentang takdir Tuhan seperti ini yang bisa dianggap paling tepat bagi penguatan jati diri kemanusian, tidak terlalu progresif tapi tidak juga regresif, tidak membawa uphoria tapi tidak juga dysphoria.
Inilah prinsip keberagamaan yang patut menjadi arus utama, prinsip jalan tengah (washatiyah) atau lebih lumrahnya disebut: keberagamaan yang moderat. Berada di tengah-tengah itu selalu baik, asal jangan di tengah-tengah antara dua orang, di mana hati anda terpaut pada keduanya. Jangan bilang itu juga takdir, karena di luar dari pembahasan saya!
" style="border:0px; height:18px; vertical-align:top; width:18px" />
6969
 
2 Komentar
8 Kali dibagikan
 
Suka
 
 
 
Komentari
 
 
Bagikan