Gambar Indra Keberagamaan (11)
"Kecerdasan dikalahkan oleh takdir". Demikian respon salah satu teman dekat. Pernyataan ini bisa mengundang perdebatan panjang, apalagi kalau dibawa ke persoalan yang bersifat teologis. Saya menulis buku otobiografi "Melawan Takdir", tetap tidak bisa melawan takdir. Bahkan teman-teman sering meledek saya yang hanya mampu menulis perlawanan terhadap takdir tetapi orang lain yang melakukannya.
Saya memperjelas terlebih dahulu bahwa melawan takdir yang saya maksud adalah melawan persepsi takdir yang sering salah kaprah. Orang sering menentukan takdir keterbatasannya terlebih dahulu, padahal itu belum tentu takdirnya. Jadi persepsi itu yang saya lawan, yang sudah saya bentangkan hampir 10 tahun yang lalu.
Lalu adakah orang yang bisa mengalahkan Takdir Tuhan? Menjelaskannya dengan ilustrasi seperti ini. Ada tiga anak sekolah berusaha masuk di jurusan kedokteran tapi tidak lulus. Orangtua pertama mengatakan, itu sudah tertulis di atas sana bahwa kamu tidak lulus. Secerdas apapun dirimu, kamu tidak ditakdirkan untuk menjadi dokter.
Orangtua kedua mengatakan: kamu sudah berusaha sekuat tenaga, mengerahkan seluruh dayamu. Itu sudah takdirmu nak. Itu ada hikmahnya, mengapa Tuhan tidak ingin menjadikanmu sebagai seorang dokter.
Orangtua ketiga mengatakan begini. Coba sekali lagi tahun depan atau dua kali lagi. Mungkin saja upaya kamu tidak semaksimal dibanding upaya mereka yang lulus. Ada standar kelulusan, kalau kamu capai itu, kamu pasti lulus.
Dari 3 tipe sikap di atas, terlihat bahwa pemahaman tentang takdir itu ada dalam keyakinan. Takdir itu ditempatkan pada pikiran orang yang mempercayainya, bagaimana ia disikapi dalam kehidupan. Tipe orangtua pertama, meyakini bahwa semua sudah ditentukan oleh Tuhan. Kuasa ada pada Tuhan sepenuhnya. Tipe pertama di atas sekaligus menjawab "dalil" yang dibentangkan oleh teman saya di atas.
Keyakinan seperti ini banyak terjadi dalam masyarakat. Sering digambarkan sebagai daun yang jatuh dari pohon dan kemana arahnya ditentukan oleh angin yang bertiup. Keyakinan seperti ini sering diistilahkan sebagai "pre-destinasi" dengan ciri penyerahan diri secara total, bisa lebih menenangkan, tapi cenderung menghambat ikhitiar dan upaya perubahan pada kemajuan.
Saya menduga, sekali lagi, saya menduga, model keyakinan seperti inilah yang melahirkan tradisi nujum; meramal, menerka-nerka masa depan seseorang hanya dengan melihat hal-hal yang tidak terkait dengan apa yang diramalkan, seperti pada garis-garis yang ada di tangan seseorang.
Sebelum melanjutkan ke model keyakinan tipe kedua dan ketiga, saya ingin bertanya kepada para lelaki, percayakah anda kalau ada yang meramal, bahwa hidup anda akan mirip cerita dalam film Layangan Putus? Hati-hati, nanti ada juga yang meramal bahwa takdir anda, kopinya bercampur dengan sianida!
</svg>" style="border:0px; height:18px; vertical-align:top; width:18px" />
</svg>" style="border:0px; height:18px; vertical-align:top; width:18px" />
4242
 
1 Komentar
3 Kali dibagikan
 
Suka
 
 
 
Komentari
 
 
Bagikan