Start typing & press "Enter" or "ESC" to close
Indonesian
English
العربية
Home
Profil
Pimpinan UIN
Sejarah UIN
Lambang
Visi Misi & Tujuan
Struktur Organisasi
Quality Assurance
Kerjasama Kemitraan
Dasar Hukum Pengelolaan
Pedoman dan Panduan Pengelolaan
Fakultas
Syariah & Hukum
Ekonomi & Bisnis Islam
Tarbiyah & Keguruan
Ushuluddin & Filsafat
Dakwah & Komunikasi
Adab & Humaniora
Sains & Teknologi
Kedokteran & Ilmu Kesehatan
Program Pascasarjana
Lembaga
LEMBAGA
Penjaminan Mutu
Penelitian & Pengabdian Masyarakat
UPT
Pusat Teknologi Informasi dan Pangkalan Data
Perpustakaan
Pusat Bahasa
PUSAT
Pusat Studi Gender dan Anak
Pusat Pengembangan Bisnis
Satuan Pengawas Internal (SPI)
International Office (IO)
Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID)
Biro
Biro AUPK
Keuangan
Kepegawaian
Perencanaan
Umum
Biro AAKK
Akademik
Kemahasiswaan
Kerjasama
Sistem Informasi
Portal Mahasiswa Dan Dosen
Portal Alumni Dan Karir
Portal Kepegawaian/SDM
E-Kinerja
Kuliah Kerja Nyata
SOP
KIP
Capaian Indikator Kinerja Utama (IKU)
Rumah Jurnal
Repository
Ebook
OPAC
Sistem Pengecekan Ijazah dan Transkrip
Registrasi Mahasiswa Baru
Pustipad Helpdesk
UKT Covid
Ujian Masuk Mandiri
Monev Perkuliahan Daring
Tracer Study
Sister
Kuliah di UIN
Penerimaan Mahasiswa Baru
Unit Kegiatan Mahasiswa
Kartu Indonesia Pintar (KIP)
Agenda
Change Languange
English
العربية
Indra Keberagamaan (11)
13 April 2022
Oleh: Hamdan Juhannis
"Kecerdasan dikalahkan oleh takdir". Demikian respon salah satu teman dekat. Pernyataan ini bisa mengundang perdebatan panjang, apalagi kalau dibawa ke persoalan yang bersifat teologis. Saya menulis buku otobiografi "Melawan Takdir", tetap tidak bisa melawan takdir. Bahkan teman-teman sering meledek saya yang hanya mampu menulis perlawanan terhadap takdir tetapi orang lain yang melakukannya.
Saya memperjelas terlebih dahulu bahwa melawan takdir yang saya maksud adalah melawan persepsi takdir yang sering salah kaprah. Orang sering menentukan takdir keterbatasannya terlebih dahulu, padahal itu belum tentu takdirnya. Jadi persepsi itu yang saya lawan, yang sudah saya bentangkan hampir 10 tahun yang lalu.
Lalu adakah orang yang bisa mengalahkan Takdir Tuhan? Menjelaskannya dengan ilustrasi seperti ini. Ada tiga anak sekolah berusaha masuk di jurusan kedokteran tapi tidak lulus. Orangtua pertama mengatakan, itu sudah tertulis di atas sana bahwa kamu tidak lulus. Secerdas apapun dirimu, kamu tidak ditakdirkan untuk menjadi dokter.
Orangtua kedua mengatakan: kamu sudah berusaha sekuat tenaga, mengerahkan seluruh dayamu. Itu sudah takdirmu nak. Itu ada hikmahnya, mengapa Tuhan tidak ingin menjadikanmu sebagai seorang dokter.
Orangtua ketiga mengatakan begini. Coba sekali lagi tahun depan atau dua kali lagi. Mungkin saja upaya kamu tidak semaksimal dibanding upaya mereka yang lulus. Ada standar kelulusan, kalau kamu capai itu, kamu pasti lulus.
Dari 3 tipe sikap di atas, terlihat bahwa pemahaman tentang takdir itu ada dalam keyakinan. Takdir itu ditempatkan pada pikiran orang yang mempercayainya, bagaimana ia disikapi dalam kehidupan. Tipe orangtua pertama, meyakini bahwa semua sudah ditentukan oleh Tuhan. Kuasa ada pada Tuhan sepenuhnya. Tipe pertama di atas sekaligus menjawab "dalil" yang dibentangkan oleh teman saya di atas.
Keyakinan seperti ini banyak terjadi dalam masyarakat. Sering digambarkan sebagai daun yang jatuh dari pohon dan kemana arahnya ditentukan oleh angin yang bertiup. Keyakinan seperti ini sering diistilahkan sebagai "pre-destinasi" dengan ciri penyerahan diri secara total, bisa lebih menenangkan, tapi cenderung menghambat ikhitiar dan upaya perubahan pada kemajuan.
Saya menduga, sekali lagi, saya menduga, model keyakinan seperti inilah yang melahirkan tradisi nujum; meramal, menerka-nerka masa depan seseorang hanya dengan melihat hal-hal yang tidak terkait dengan apa yang diramalkan, seperti pada garis-garis yang ada di tangan seseorang.
Sebelum melanjutkan ke model keyakinan tipe kedua dan ketiga, saya ingin bertanya kepada para lelaki, percayakah anda kalau ada yang meramal, bahwa hidup anda akan mirip cerita dalam film Layangan Putus? Hati-hati, nanti ada juga yang meramal bahwa takdir anda, kopinya bercampur dengan sianida!
</svg>" style="border:0px; height:18px; vertical-align:top; width:18px" />
</svg>" style="border:0px; height:18px; vertical-align:top; width:18px" />
42
42
1 Komentar
3 Kali dibagikan
Suka
Komentari
Bagikan