Gambar INDITIA TO MUANE BANNANG PUTE SARANA MELO DI JINGA MELO DI LANGO-LANGO

INDITIA TO MUANE – Inilah laki-laki sejati.
BANNANG PUTE SARANA – (Ibarat) benang putih, permasalahannya terang.
MELOQ DI CINGGA – Siap dilabur atau diwarnai merah.
MELOQ DI LANGO-LANGO – Siap pula menerima warna coklat.

Saat bertugas di Fakultas Syariah IAIN Filial Majene pada tahun 1984, saya mengundang sahabat sekaligus guru saya, Husni Djamaluddin, untuk memberikan kuliah umum di hadapan civitas akademika. Judul kuliah yang ia bawakan sama dengan tema artikel ini. Menurut Husni, "to muane" dalam ungkapan di atas bukan sekadar merujuk pada gender laki-laki, melainkan juga pada siapa saja yang memiliki keberanian. Bahkan perempuan yang pemberani pun dapat disebut "to muane."

Adapun makna "melo di jingga, melo di lango-lango," sebagaimana dijelaskan oleh Dr. Suradi Yasil dalam sebuah wawancara telepon, adalah kesiapan seseorang untuk menghadapi tantangan dalam bentuk apa pun, baik kebaikan maupun keburukan.

Aula tempat kuliah umum itu berlangsung penuh sesak. Salah satu peserta yang turut menyemarakkan diskusi adalah almarhum H. Ma’sud Rahman, ayah dari Prof. Dermawan Ma’sud Rahman. Beliau langsung mengamini bahwa "to muane" tidak merujuk pada laki-laki semata, melainkan pada siapa saja yang berani. Dalam sejarah perjuangan di Mandar, banyak perempuan yang menunjukkan keberanian luar biasa. Mereka bahkan rela meninggalkan zona nyaman, termasuk berpisah dari suami demi mempertahankan kemerdekaan.

Salah satu sosok perempuan pemberani itu adalah Andi Depu, seorang pejuang gigih dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Ketika tentara NICA dari Majene hendak menebang tiang bendera di istananya di Tinambung, Andi Depu turun dari istana dengan berani, memeluk tiang bendera, lalu berkata tegas kepada pasukan NICA yang siap menebang:

"Ia pa namala mu tabang die tiang banderae, mua mu tabangi mupasi tabang." (Kalian hanya bisa menebang tiang bendera ini jika menebangnya bersama saya.)

Keberanian Andi Depu membuat tentara NICA ciut nyali dan akhirnya mengundurkan diri.

Semangat seperti inilah yang menjadi jiwa orang Mandar. Mereka lebih memilih mati berkalang tanah daripada kembali dijajah. Nilai-nilai inilah yang membuat mereka siap menghadapi segala tantangan dan berkorban demi perjuangan. Ketika tentara Westerling menggiring mereka ke Galung Lombok, baik laki-laki maupun perempuan rela mati demi Indonesia merdeka.

"Inilah wujud nyata dari kalinda yang saya sebutkan tadi," ujar Husni Djamaluddin saat mengakhiri kuliah umumnya.

Wassalam,
Kompleks GPM, 13 Februari 2025