Gambar In Memoriam Dr. Abd. Halik, S.Sos., M.Si.:“Dosen, Sahabat, dan Teladan dari Tanah Mandar”

Dalam ajaran Islam, kematian bukanlah akhir, melainkan awal dari kehidupan yang sejati, alam akhirat yang kekal. Allah SWT berfirman dalam Surah Ali ‘Imran ayat 185: “Kullu nafsin dzā`iqatul-maut…”
Setiap yang bernyawa pasti akan merasakan mati.
Dan sesungguhnya, kehidupan dunia hanyalah kesenangan yang memperdaya.

Rasulullah SAW bersabda:“Perbanyaklah mengingat penghancur kenikmatan, yaitu kematian.” (HR. Tirmidzi). Dengan mengingat kematian, hati menjadi lembut, jiwa menjadi waspada, dan hidup terasa lebih bermakna. Kalangan suhufi memandang kematian bukan sebagai perpisahan, melainkan pertemuan kembali dengan Sang Kekasih. Bahwa orang yang mencintai Allah tidak takut pada kematian, karena baginya kematian adlah jalan pulang.

Pada hari Jum’at yang penuh berkah, 11 Juli 2025, kami berduka. UIN Alauddin khususnya Fakultas Dakwah dan Komunikasi merasa pilu. Kehilangan sosok terhormat dan penuh dedikasi: Dr. Abd. Halik, S.Sos., M.Si. Beliau menghembuskan napas terakhirnya di Samata, Kabupaten Gowa. Jenazah almarhum diberangkatkan siang hari (11/07/25) ke kampung halamannya di Desa Samasundu, Kecamatan Tinambung, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat, daerah yang dulu dikenal sebagai bagian dari Sulawesi Selatan.

Pelepasan almarhum diantar langsung oleh Rektor Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, Prof. Hamdan Juhannis, serta Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Prof. Abd. Rasyid Masri. Dalam sambutannya, Rektor menggambarkan almarhum sebagai sosok dosen yang tekun, bertanggung jawab, dan tulus dalam membimbing para mahasiswa serta menyelesaikan tugas-tugas akademik yang dipercayakan kepadanya. Sementara Dekan mengenangnya sebagai pendidik sejati, yang tidak hanya konsisten tetapi juga linier dalam disiplin ilmu komunikasi yang digelutinya sejak strata satu hingga doktoral.

Saya mengenal almarhum sejak kami sama-sama menempuh pendidikan di Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Hasanuddin. Beliau adalah angkatan 1992, saya angkatan 1994. Meskipun kami tak terlalu dekat kala itu, beberapa kali kami berada di kelas yang sama. Kenangan kecil namun berkesan muncul saat saya sering ke Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo setiap Sabtu pagi usai olahraga di kampus. Di sana, saya biasa numpang bersih-bersih, karena airnya banyak. Kebetulan Bang Halik bekerja dalam urusan “penyebaran informasi” di kawasan rumah sakit tersebut.

Saat melanjutkan studi S2 di Pascasarjana Universitas Hasanuddin pada awal 2000-an, hubungan kami menjadi lebih dekat. Kami satu kelas, satu angkatan. Tugas-tugas kelompok dan presentasi membuat kami semakin seru. Apalagi ada Bang Cikon, yang bertindak sebagai ketua kelas. Hubungan kami pun makin erat setelah saya menikah pada tahun 2003. Dia sangat senang ketika mengetahui saya menikah orang sekampungnya, Tanah Mandar. Istri saya dari Somba, Majene, dan Bang Halik dari Samasundu, Polman. Tahun itu pula, saya diundang menghadiri Halal bi Halal Forum Sipamandar di Balai Kemanunggalan ABRI/Rakyat Makassar. Katanya, saya sudah resmi jadi “Orang Mandar”, jadi harus hadir.

Meski kami seangkatan di S2, saya lebih dahulu menyelesaikan studi. Saat saya sudah seminar hasil dan ujian tutup, dia sempat terkrejut. Beberapa bulan kemudian, Bang Halik pun menyusul menyelesaikan magisternya. Saat itu saya tahu beliau sudah menjadi dosen di IAIN Alauddin sejak 1999, sementara saya baru menyusul pada 2006. Perjalanan ini membuat kami makin sering berinteraksi dan saling menguatkan dalam dunia akademik.

Sebagai senior dan teman, almarhum adalah guru bagiku. Beberapa bukunya menjadi rujukan dalam mengajar jurnalistik. Saya banyak belajar dari beliau, termasuk ketika pertama kali harus mengajar. Pernah sempat gugup, tapi Bang Halik memberi banyak saran dan kiat untuk menghadapi mahasiswa dengan percaya diri.

Sebelum kami berangkat ke Australia, saya sempat mengajak istri sowan ke rumah orang tuanya di Desa Samasundu, karena masih dalam suasana Idul Fitri. Kunjungan itu menjadi salah satu momen yang paling membekas. Beliau menyambut kami dengan penuh suka cita, lalu mengajak kami berjalan-jalan di sekitar kampungnya.

Dengan penuh kebanggaan, Bang Halik bercerita tentang satu sumur tua yang konon tak pernah kering. “Ini sumur yang menghidupi seluruh warga desa,” katanya. Di sana tampak ratusan, bahkan mungkin seribu lebih mesin pompa yang mengalirkan air kehidupan ke rumah-rumah penduduk. Di balik wajah tenangnya, saya melihat kecintaan mendalam pada tanah kelahirannya. Sebagai seorang dosen dan doktor di Makassar, Bang Halik adalah kebanggan warga Desa Samasundu.

Rumah beliau berada di kawasan Samata Gowa, masih di sekitaran kampus UIN Alauddin. Rumah saya pun demikian, tak seberapa jauh jaraknya. Kami berulang-ulang berpapasan di jalan menuju kampus. Semasa hidupnya, Bang Halik cukup sering datang ke rumah. Demikian pula saya, kalau tak ada kerjaan atau sekadar ingin menganggu ketenangan ilmiahnya, saya main ke rumahnya. Di luar diskusi akademik, rupanya kami juga punya hobi yang tak kalah serius: bertukar bunga.

Ya, bunga betulan. Bukan kode. Ternyata kami sama-sama pencinta bunga. Kadang saya bawa bibit dari kampus, dia bawa tanaman dari kampung. Entah siapa yang mulai, tahu-tahu halaman rumah kami berubah seperti kebun kecil persahabatan. Tampaknya sekarang bunga-bungaku lebih banyak. Tapi saya harus akui, bunga-bunganya lebih cantik daripada bunga-bungaku.

Satu kenangan manis lainnya: saat Idul Adha, beliau kerap menitipkan kepala sapi ke rumah kami. Beliau adalah bagian dari panitia pelaksana penyembelihan hewan kurban di kompleks dekat rumahnya, dan sering kali mendapatkan jatah kepala sapi. Karena tidak sanggup menanganinya sendiri, kepala sapi itu dibawa ke rumah kami. Istri saya mengolahnya menjadi konro khas Makassar. Kami menyantapnya bersama dosen-dosen UIN yang tinggal di sekitar.

Selama hampir dua dekade kami mengabdi bersama di Fakultas Dakwah dan Komunikasi, banyak kenangan tak terlupakan. Saya dua kali menerima tanggung jawab jabatan yang beliau tinggalkan. Ketika beliau menjadi Sekretaris Jurusan Jurnalistik dan harus melanjutkan S3 ke Bandung, posisi itu dipercayakan kepada saya. Begitu pula saat beliau menjadi Sekretaris Jurusan Ilmu Komunikasi pada 2016, dan kemudian memilih untuk lebih bebas dari jabatan structural. Oleh pimpinan, posisi itu pun diamanahkan kepada saya. Tak lama kemudian, saya sendiri harus berangkat ke Australia mendampingi keluarga.

Bang Halik adalah sosok yang teguh pendirian, sederhana, dan sangat mencintai pekerjaannya. Dunia akademik adalah rumah yang benar-benar ia rawat dengan kesungguhan. Tidak banyak dosen yang begitu setia dan fokus pada disiplin ilmu yang sama hingga tiga jenjang pendidikan. Beliau membuktiikan bahwa kesetiaan dan kedalaman ilmu dapat berjalan beriringan.

Tak banyak bicara, tapi tegas. Tak banyak menuntut, tapi hadir penuh tanggung jawab. Mahasiswa yang mendapat kesempatan diajar dan dibimbing oleh almarhum adalah mahasiswa yang beruntung. Mereka bukan hanya mendapat ilmu, tapi juga mendapatkan teladan.

Kami mencintaimu, Bang Halik. Tapi Allah, Sang Pemilik hidup dan mati, lebih mencintaimu. Tenanglah dalam peristirahatan terakhirmu. Doa kami menyertaimu, semoga engkau ditempatkan di sisi-Nya bersama orang-orang saleh dan berilmu yang terus menebar manfaat meski telah tiada.