Tahun 2000an kita disuguhi oleh sebuah fenomena modis celana dengan pinggang melorot, sampai dalamannya kelihatan yaitu celana boxer bercorak terang dan bergambar. Bagian kaki celana super ketat, coba bayangkan betapa susahnya kalau kebelet di toilet, yang pernah mengalami pasti senyum sendiri sekarang, ha ha
Secara logika tren modis ini kurang etis dan menyusahkan, tetapi faktanya hampir semua anak muda yang merasa gaul menggunakan tren celana modis tersebut. Pertanyaannya kenapa fenomena ini terjadi begitu masif dikalangan anak muda? Ternyata jawabannya adalah karena the power of modeling. Pada jaman itu sedang terjadi tren anak band dimana banyak band besar di Indonesia pada waktu itu personilnya menggunakan celana tersebut. Karena modelingnya adalah artis yang populer dan banyak digemari maka perilaku dan cara berpakaiannya banyak ditiru oleh fansnya.
Bagaimana proses peniruan ini terjadi? Pertama adalah melalui observasi dengan memperhatikan modeling. Publik sangat mudah mengakses dan menonton konser maupun keseharian artis melalui media sosial yang sudah mulai berkembang dan televisi sebagai akses utamanya.
Karena kecintaan fans maka mereka ingin seperti idolanya, mereka mulai masuk pada tahap kedua yaitu menganalisis bagaimana menjadi seperti yang diidolakan, mulai dari perilakunya hingga bagaimana penampilan fisik idolanya. Setelah analisis selesai maka tahap ketiga adalah reproduksi motorik untuk berusaha menirukan perilaku dan mengikuti modis yang sama dengan idolanya. Mereka mulai mempermak celananya sama seperti idolanya yaitu celana pinggang melorot dengan memanfaatkan segala sesuatu yang ada.
Tahap selanjutnya adalah mereka mampu mempertahankan modis yang sudah ditiru dari idolanya karena mereka mendapatkan pengakuan sosial yang membuat mereka bangga karena dianggap mirip dengan idolanya. Paling tidak mereka saling memuji dan saling menyemangati sesama celana pinggang melorot, ha ha
Para fans ini yang sudah meniru idolanya secara otomatis dan secara tidak sadar juga kemudian berkembang menjadi modeling buat anak muda yang lain, akibatnya fenomena modis ini bergerak secara cepat dan masif. Produsen celana pun cepat merespon modis ini dan banyak memproduksi celana pinggang melorot karena permintaan pasar yang sangat tinggi.
Penanganan stunting di Indonesia menjadi salah satu prioritas pemerintah melalui program Makan Bergizi Gratis (MBG) untuk anak sekolah, ibu hamil dan ibu menyusui. Dampaknya secara statistik angka penderita stunting mengalami penurunan meskipun terkesan penurunan angkanya seperti jarum spidometer kendaraan, dimana naik turunnya tergantung tuas RPM ha ha.
Pemerintah harus mencoba cara baru misalkan dengan pengembangan program MBG dengan menambahkan modeling. Jadi sekolah tidak hanya diberikan makanan tetapi diberikan edukasi oleh modeling yang memiliki power untuk menanamkan mindset pada anak sekolah agar selalu berusaha makan makanan yang baik dan sehat secara mandiri dan tidak bergantung hanya pada program MBG.
Modeling yang bisa digunakan misalkan pemerintah, artis yang lagi populer, tokoh masyarakat, guru di sekolah, kader potensial yang dilatih, dan atlet sepak bola yang sedang digemari karena sedang berjuang mewujudkan mimpi masuk piala dunia. Namun, faktanya saya lihat kontradiktif karena ketika edukasi stunting dilakukan ternyata narasumbernya juga secara fisik stunting. Mungkin maksudnya supaya masyarakat tidak bingung sehingga diberikan contoh langsung. Tetapi saya khawatir malah masyarakat berpikir bagaimana kami bisa percaya sedangkan anda sendiri stunting ha ha.
Mengapa harus menggunakan kekuatan modeling dalam penanganan stunting di Indonesia?
Pertama, agar sosialisasinya lebih cepat dan mudah diterima oleh masyarakat. Biasanya apapun yang disampaikan dan dilakukan oleh orang yang memiliki modal sosial tinggi akan mudah diterima dan diikuti. Sama halnya fenomena celana melorot yang banyak diikuti karena artis adalah modelingnya.
Kedua, agar masyarakat berusaha dan berdaya secara mandiri. Seorang fans tidak akan pernah berhenti untuk terus berusaha mewujudkan segala sesuatu yang diinginkan oleh idolanya. Tren celana melorot membantah keterbatasan ekonomi menjadi faktor penghambat, karena tren ini terjadi untuk semua kalangan. Semua fans berusaha memiliki celana melorot sesuai dengan kemampuannya dengan memanfaatkan sumber daya yang ada. Diharapkan dalam penanganan stunting juga seperti itu, dimana makanan baik dan sehat dapat diperoleh darimana saja asalkan mampu memanfaatkan potensi dan sumber daya yang ada disekitarnya.
Ketiga, agar penanganan stunting dapat berjalan secara cepat dan masif. Fenomena modeling stunting akan menjadi fenomena sosial seperti rantai yang tidak terputus dan saling terikat. Sehingga angka stunting tidak lagi menjadi permainan statistik tetapi menjadi fakta sosial yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Keempat, reinforcement positif sangat dibutuhkan agar gerakan perubahan ini dapat berjalan dan bertahan menjadi fenomena baru. Tentu mendapatkan pesan dari idolanya memiliki value yang lebih tinggi, pesannya langsung sampai kedalam pikiran dan hati mereka. Coba bayangkan kalau misalkan pemain timnas indonesia sekelas ole romeny yang menjadi modeling anak indonesia bebas stunting, tentu akan sangat menarik karena selebrasi golnya saja langsung menjadi viral dan banyak diikuti oleh masyarakat di indonesia khususnya anak-anak.
Satu lagi pembelajaran yg kita harus ambil dari fenomena celana melorot, jangan sampai fenomena ini terjadi bukan sebagai tren modis berpakaian tetapi menjadi gambaran fenomena masyarakat yang mengalami kesulitan ekonomi karena orang tuanya tidak memiliki pekerjaan. Akibatnya mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan makanan bergizi untuk para istri yang sedang hamil atau menyusui, dan anak-anak mereka terlihat dengan penampilan celana melorot karena kurus akibat kelaparan dan kekurangan gizi.
Kita juga harus banyak belajar dengan meniru apa yang dilakukan oleh Jepang yang secara genetik memiliki tinggi badan yang lebih pendek dari orang indonesia. Tetapi faktanya sekarang ini mereka lebih tinggi rata-rata 4-5 cm dibadingkan dengan orang indonesia. Bagaimana mereka melakukan itu, yaitu mereka menjadikan rata-rata tinggi badan orang eropa sebagai standar yang harus dicapai yang secara genetik jauh lebih tinggi. Kekurangan secara genetik mereka tutupi melalui program pemenuhan gizi yang seimbang.
Terakhir buat tenaga penyuluh yang saya singgung dalam tulisan saya, tidak usah baper karena faktanya banyak orang cerdas dan pemimpin dunia yang secara fisik tidak begitu tinggi, karena disisi lain yang terpenting sebenarnya bukan tidak stunting secara fisik tetapi tidak stunting secara iman dan pikiran.