Di Tanah Suci, tahun enam dua, H. Fadli Luran menapaki jejak para rasul, melihat ribuan wajah dari penjuru dunia, bermazhab beda—namun tak saling cela, tak ada hujatan, apalagi nista. Hanya hormat, doa, dan ukhuwah terasa.
Hatinya tergetar, pikirnya terbuka: mengapa di kampung sendiri—masih ada cela-mencela? Padahal kiblat satu, Nabi pun sama, mengapa umat terpecah, padahal kita saudara?
Sekembalinya dari tanah suci yang mulia, beliau tak tinggal diam di rumah biasa. Ia rajut benang ukhuwah dengan karya dan suara, menyemai cita persatuan dari masjid ke mimbar kota.
Ia bersahabat bukan hanya dengan sesama, tetapi dengan tokoh bangsa dan ulama mulia: Mohammad Hatta—sang Proklamator bijaksana, Mohammad Natsir—pendekar dakwah sejati, dan Buya Hamka—penyair ruhani. Mereka datang ke Makassar bukan menginap di hotel megah, tetapi menetap di rumah H. Fadli di Jalan Rusa yang ramah.
Di sana, tamu belajar denyut umat dari sang tuan rumah, dan tuan rumah menyerap kebijaksanaan dari para tokoh sejarah. Rumah itu bukan sekadar bangunan, tapi jembatan antara Makassar dan keindonesiaan.
Saya—anak zaman yang datang kemudian, masih menyimpan foto kenangan para tokoh itu bertiga, dan di akhir dekade tujuh puluhan, saya duduk di antara jamaah, menyimak pidato penuh makna.
“Umat Islam harus bersatu,” suara beliau menggema. “Karena Tuhan kita satu, Nabi kita satu, dan kiblat kita pun sama.” Beliau menekankan: “Dalam furu’ kita mungkin berbeda, tapi jangan sampai persaudaraan jadi sirna.”
Beliau kutip firman dari Ali Imran yang agung: "Berpeganglah kalian pada tali Allah, dan jangan bercerai-berai..." Betapa ayat itu bukan sekadar nasihat, tapi kunci keselamatan umat, dari masa ke masa, dari generasi ke generasi.
Wasalam,