Syekh Nuruddin al-Samhudi menceritakan:
Suatu kali aku menunggang kendaraan dan pergi bersama guruku—sang guru besar Islam dan sang faqih masanya—al-Syaraf Yahya al-Munawi dari rumahnya di Bunduganiyyin ke rumahnya di jazirah Tengah. Kami melewati suatu kaum yang sedang duduk, lalu timbullah dalam diriku sesuatu tentang mereka.
Guru kami lalu menyingkapku padahal aku tidak menyebut-nyebut sesuatu itu dan Ia berkata kepadaku, "Mereka semua ini iktikadkanlah kewalian mereka!”
Orang-orang sedang duduk yang disebut oleh al-Samhudi mungkin saja telah melakukan mungkin saia telah saling memberi sesuatu yang tak halal serta mungkin saja telah berbuat anu dan anu.
Karena ltulah terjadi dalam diri sang syekh apa yang telah terjadi.
Tetapi, Syekh al-Munawi yang telah Allah perlihatkan apa yang terjadi dalam batin muridnya lalu mengagetkan muridnya dengan apa yang tak diduga oleh sang murid.
Sang guru (bahkan) tidak berkata: “Janganlah beriktikad buruk tentang mereka”
Namun, ia memerinjahkan: “Mereka semua ini iktikadkanlah kewalian mereka!”
Apakah mereka tidak mungkin menjadi wali Allah ketika lahiriah mereka buruk?
Sesungguhnya Allah menyembunyikan banyak waliNya di antara manusia!
Al-Munawi kemudian menghikayatkan sebuah kisah yang terjadi pada gurunya:
Guru kami, al-Hafizh al-'Iraqi, mengabari sendiri bahwa ia pernah naik kendaraan dengan seorang kusir keledai dari dusun. Saat itu aku berbicara kepada diriku sendiri dan diriku benar-benar tenggelam dalam harapan. Aku bergumam, “Andai saja aku mempunyai empat istri di empat rumah dan di setiap rumah terdapat berbagai kitab yang kubutuhkan dengan ketersediaan yang sama di semua rumah”
Sang kusir lalu mengangkat penglihatannya kepadaku lalu berkata—dengan mengganti huruf qaf dengan huruf kaf -wahai fakih, harapan apa itu? Empat rumah, dan kitab-kitab di setiap rumah?!”
Aku pun turun dari binatang tunggangannya dan berujar, “Engkau lebih berhak untuk naik dan aku berjalan di belakang melayanimu”
Ia justru berkata, “Jika engkau tidak naik, aku pergi meninggalkanmu,
Aku pun naik lagi. Manakala telah sampai d Rumailah, ia menuturkan:
Wahai fakih, suatu kali orang Turki naik hewan tungganganku. Ketika telah sampai di sini, ia turun dari keledai. Aku pun berkata kepadanya, "Uang sewa" Ia malah mengangkat pohon kurma yang ditanam di tempat berair dan memukulku dengan itu. Demi Allah, seandainya kukatakan kepada bumi: “Telanlah ia” niscaya bumi akan menelannya. Tetapi, kuabaikan saja orang itu dan aku pergi.
Guru kami (al-Munawi) kemudian berkata kepadaku, “Jadi, kusir-kusir keledai di antara mereka adalah para wali, dan begitu jugalah kelompok lainnya. Husnuzan itu — keuntungan dan suuzan itu kerugian." Dikutip dari kitab Min Ma'arif al-Sadah al-Sufiyyah karya Syekh Muhammad Khalid Tsabit..