Di tengah pergantian kepemimpinan nasional, hukum selalu berdiri di titik paling rawan, yakni antara harapan rakyat dan tarikan kekuasaan.
Era pemerintahan Prabowo menghadirkan ekspektasi besar terhadap penegakan hukum yang tegas, berani, dan berkeadilan.
Kejaksaan Agung pun menjadi salah satu institusi yang paling disorot, bukan semata karena prestasi yang diklaim, tetapi karena makna yang dikandung di balik setiap langkahnya.
Di sinilah hukum diuji, apakah ia sungguh menjadi cahaya keadilan, atau sekadar refleksi kepentingan yang lebih besar.
Sepanjang waktu berjalan, publik menyaksikan keberanian Kejaksaan Agung dalam mengungkap perkara-perkara besar, menyentuh wilayah yang sebelumnya dianggap “terlarang”.
Prestasi demi prestasi dicatat, aset negara diselamatkan, dan proses hukum digerakkan dengan intensitas yang belum pernah seramai ini.
Namun sejarah mengajarkan satu hal penting, keberanian tanpa integritas hanya akan melahirkan ketakutan baru, dan prestasi tanpa keadilan sejati hanya akan menjadi angka di laporan tahunan.
Islam memandang kekuasaan dan hukum sebagai amanah yang berat. Amanah bukan untuk dibanggakan, melainkan untuk dipertanggungjawabkan.
Allah menegaskan dengan peringatan yang menggugah kesadaran nurani:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaklah kamu menetapkannya dengan adil.”
(QS. An-Nisa: 58).
Ayat ini bukan sekadar etika individual, melainkan prinsip institusional. Kejaksaan Agung, dalam konteks negara, adalah pemikul amanah besar, yakni menegakkan hukum tanpa membedakan kawan dan lawan, tanpa tunduk pada tekanan politik, dan tanpa menjadikan hukum sebagai alat balas dendam kekuasaan.
Prestasi penegakan hukum yang diraih akan kehilangan makna jika keadilan hanya tampak di permukaan.
Islam menolak keadilan yang bersifat selektif. Allah memperingatkan dengan tegas:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَىٰ أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, sekalipun terhadap dirimu sendiri, ibu bapak, dan kaum kerabatmu.”
(QS. An-Nisa: 135)
Inilah ujian terbesar Kejaksaan Agung di era Prabowo, yakni menjaga keadilan agar tidak terperangkap dalam logika kuasa. Sebab keadilan yang sejati justru diuji ketika hukum harus berhadapan dengan kepentingan besar, bukan ketika berhadapan dengan yang lemah.
Nabi Muhammad SAW. telah memberikan peringatan keras tentang kehancuran suatu bangsa ketika hukum dijalankan secara diskriminatif:
إِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِينَ قَبْلَكُمْ أَنَّهُمْ كَانُوا إِذَا سَرَقَ فِيهِمُ الشَّرِيفُ تَرَكُوهُ، وَإِذَا سَرَقَ فِيهِمُ الضَّعِيفُ أَقَامُوا عَلَيْهِ الْحَدَّ
“Sesungguhnya yang membinasakan umat sebelum kalian adalah jika orang terpandang mencuri mereka membiarkannya, tetapi jika orang lemah mencuri mereka menegakkan hukuman atasnya.”
(HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Hadis ini relevan lintas zaman. Ia menjadi cermin tajam bagi setiap institusi hukum, keberanian sejati bukan diukur dari banyaknya perkara, melainkan dari konsistensi menegakkan hukum tanpa pandang bulu.
Para sahabat Nabi memahami bahwa kekuasaan dan hukum adalah beban, bukan kehormatan. Umar bin Khattab RA. seorang pemimpin yang dikenal tegas, pernah berkata:
لَوْ عَثَرَتْ بَغْلَةٌ فِي الْعِرَاقِ لَخِفْتُ أَنْ يَسْأَلَنِيَ اللَّهُ عَنْهَا
“Seandainya seekor keledai tersandung di Irak, aku khawatir Allah akan menanyai aku tentangnya.”
Ucapan ini bukan retorika, melainkan refleksi kedalaman tanggung jawab moral. Kejaksaan Agung, sebagai wajah negara dalam penegakan hukum, memikul tanggung jawab serupa: setiap ketidakadilan, sekecil apa pun, akan dimintai pertanggungjawaban.
Ulama besar Imam Al-Ghazali menegaskan bahwa kekuasaan tanpa moral akan melahirkan kerusakan, dan hukum tanpa nurani hanya akan mempercepat kehancuran.
Dalam pandangannya, keadilan adalah ruh negara, dan ketika ruh itu hilang, yang tersisa hanyalah bangunan kosong bernama kekuasaan.
Maka, refleksi di era Prabowo ini seharusnya tidak berhenti pada euforia prestasi. Ia harus meluas menjadi muhasabah kolektif, apakah keberanian penegakan hukum benar-benar lahir dari komitmen keadilan, atau sekadar mengikuti arus politik kekuasaan?
Apakah hukum sedang ditegakkan untuk rakyat, atau dipertontonkan demi citra?
Islam mengajarkan bahwa kekuasaan dan hukum akan dimintai pertanggungjawaban bukan hanya di hadapan manusia, tetapi di hadapan Allah. Rasulullah SAW. bersabda:
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.”
Di titik inilah integritas menemukan maknanya yang paling dalam. Integritas bukan sekadar bebas dari pelanggaran, melainkan kesetiaan pada nilai, bahkan ketika tidak ada yang melihat.
Kejaksaan Agung di era Prabowo memiliki peluang besar untuk menorehkan sejarah, menjadi institusi yang tidak hanya berprestasi dan berani, tetapi juga teguh menjaga marwah keadilan.
Sebab pada akhirnya, hukum bukan tentang siapa yang berkuasa hari ini, melainkan tentang apa yang akan dipertanggungjawabkan kelak.
Ketika prestasi bertemu keberanian, dan keberanian disempurnakan oleh integritas, di sanalah keadilan menemukan rumahnya, dan negara menemukan kehormatannya.
#Wallahu A’lam Bish-Shawab
Alat AksesVisi