Gambar Hidup Optimis

Tidak seorang pun di antara kita yang ingin kehidupannya jelek. Semua menginginkan kehidupan yang baik. Hanya saja ukuran dan kriteria kehidupan yang baik itu  berbeda antara satu dengan lainnya. Ada yang beranggapan bahwa hidup yang baik ialah memiliki pekerjaan tetap, sudah menikah dan tinggal di rumah sendiri, bukan rumah kontrakan. Dia pergi ke kantor atau tempat kerja dengan kendaraan sendiri, tidak berdesak-desakan di kendaraan umum. Ada juga yang berpendirian bahwa hidup yang baik adalah ketika dapat memenuhi biaya hidup keluarga, tanpa harus bersusah payah membayar tagihan utang setiap akhir bulan. Kalau tidak begitu, maka tidak dapat dikatakan bahwa ia telah menjalani hidup yang baik.

Alquran mengajarkan bahwa hidup yang baik adalah kehidupan yang di dalamnya kita dapat memelihara dan mempertahankan iman, serta mengisinya dengan amal saleh. Karena itu, boleh jadi seseorang berpenghasilan pas-pasan, tinggal di rumah yang sangat sederhana, tetapi di tengah godaan dan guncangan hidup ia tetap dapat mempertahankan imannya, maka yang demikian itu dikategorikan sebagai kehidupan yang baik.

Sementara itu, ada orang taat beragama, rajin pergi ke masjid, sering salat malam. Kemudian Allah memberikan kepadanya nikmat berupa: pangkat, jabatan, rezeki, dan berbagai kenikmatan hidup lainnya. Sehingga dia tidak sempat lagi pergi ke masjid, tidak pernah lagi salat malam, bahkan tidak bisa lagi memelihara dan mempertahankan imannya dari terpaan godaan hidup. Maka kehidupan yang demikian itu adalah kehidupan yang merugi, meskipun pada kenyataannya terlihat sangat gemerlapan.

Nabi Ibrahim dan Siti Hajar (istrinya), adalah dua tokoh yang patut diteladani bagi siapa saja yang mendambakan contoh  kaitannya dengan sikap optimis dan bersyukur dalam menjalani kehidupan. Ibrahim meyakini, bahwa pangkat/derajat yang paling tinggi yang harus dicapai oleh setiap mukmin dalam hidupnya ialah pangkat “asy-Syaakirin” (orang-orang yang tahu bersyukur kepada Allah). Yakni orang-orang yang pandai menempatkan karunia Allah  pada tempatnya, serta menggunakannya di jalan yang diridhoi-Nya.

Siti Hajar (istri Ibrahim) pada saat itu berlari bolak-balik antara Shafa dan Marwa, berkali-kali di tengah gurun yang tandus mencari air bagi anaknya. Ia tidak hanya berlari satu kali lalu berhenti ketika ia tidak menemukan air yang diperlukan, melainkan ia kembali lagi dan berupaya lagi tanpa kenal putus asa. Hal ini melambangkan suatu ketetapan hati atau inovasi tiada henti dan tidak kenal lelah. Teladan dari sikap Siti Hajar, kemudian diabadikan oleh Allah swt. Untuk mengajarkan manusia tentang pentingnya sikap istiqamah, atau upaya dan inovasi tiada henti. Inilah teladan yang harus diambil dari orang-orang yang melakukan sa’i dari Shafa dan Marwa, sebuah contoh konsistensi dan ketetapan hati dalam menjalankan misi Tuhan sebagai rahmatan lil ‘alamin.

Semestinya bagi orang yang diberi nikmat kesehatan dalam hidupnya seharusnya tahu siapa yang memberinya nikmat kesehatan, lalu memuji dan bersyukur kepada Tuhan. Bagi orang yang diberi kekayaan seyogianya tahu siapakah sebenarnya yang memberi kekayaan lalu ia memuji dan bersyukur kepada-Nya. Begitu pula orang-orang yang diberi pangkat, kedudukan, dan kekuatan haruslah memuji dan bersyukur kepada Dzat yang memberi pangkat, kedudukan, kekuatan dan lain sebagainya. Jangan sampai nikmat dan karunia yang diperoleh itu justru membuat kita lupa diri dan semakin jauh dari Allah. Ketahuilah, bahwa tanpa limpahan pemberian-Nya, kita semua tidak memiliki apa-apa dan tidak berdaya.

Kekeliruan menyikapi nikmat dan pemberian Allah itu terkadang menyebabkan seseorang menganggap dirinya lebih mulia, lebih pintar, lebih berkuasa, lebih kaya, lebih kuat dan lain sebagainya. Seolah-olah semua kelebihan itu diperoleh dari usaha dan kerja kerasnya semata dan hanya dia yang memilikinya, padahal semua kelebihan itu hanyalah titipan Allah Sang Mahapemberi. (*)