Gambar ”HARMONI DIBAWAH KENDALI”


Benarkah harmoni bisa diperintah?


Apakah kerukunan lahir dari kesadaran, atau cukup dengan panggung bersama dan simbol kebersamaan?


Di titik mana toleransi berubah menjadi tekanan halus, dan moderasi bergeser dari kebajikan menjadi agenda?


Pertanyaan-pertanyaan ini penting diajukan di tengah riuhnya narasi persatuan yang kerap dibungkus dengan bahasa damai, namun menyisakan kegelisahan di ruang batin umat. 


Sebab harmoni sejati tidak pernah tumbuh dari kewajiban administratif, apalagi dari konstruksi simbolik yang dipaksakan atas nama kebersamaan.


Harmoni, pada hakikatnya, adalah buah dari kematangan iman dan kejernihan nalar. 


Ia hadir ketika manusia mampu menerima perbedaan tanpa harus mengaburkan keyakinan. Ia hidup dari kesadaran, bukan dari kepatuhan semu. 


Ketika harmoni dikelola sebagai proyek politik, nilainya perlahan bergeser, dari etika luhur menjadi instrumen penyeragaman identitas.


Di sinilah moderasi beragama sering kehilangan maknanya. Moderasi bukanlah ajakan untuk melunakkan iman, bukan pula upaya menghapus batas keyakinan. 


Moderasi adalah sikap adil, proporsional, dan beradab dalam relasi sosial, tanpa harus mengorbankan prinsip teologis. 


Namun ketika moderasi direduksi menjadi program simbolik negara, umat tidak lagi diajak berpikir, melainkan diarahkan untuk menyesuaikan diri dengan tafsir kekuasaan.


Akibatnya, harmoni tidak dipahami, tetapi diterima dengan terpaksa.

Pendekatan seperti ini menyimpan bahaya laten, terutama secara spiritual. 


Iman dalam Islam adalah ruang terdalam manusia, personal, sakral, dan tak bisa dinegosiasikan oleh kebijakan. 


Ia bertumbuh melalui keyakinan, bukan regulasi. Ketika simbol-simbol agama disatukan dalam satu panggung politik, yang lahir bukan toleransi yang sehat, melainkan kaburnya identitas.


Umat pun terjebak dalam dilema sunyi, antara setia pada keyakinan atau dicap tidak inklusif. Antara menjaga batas iman atau dituduh mengganggu harmoni.


Padahal Islam sejak awal telah memberi teladan hidup berdampingan secara bermartabat. Perbedaan diakui, hak dijaga, relasi sosial dibangun dengan adil, namun garis keyakinan tetap tegas. 


Tidak pernah ada tuntutan mencampuradukkan ritual demi membuktikan toleransi. Justru kejelasan sikap itulah yang melahirkan rasa saling percaya dan penghormatan yang tulus.


Masalahnya, politik identitas bekerja dengan cara yang halus. Ia tidak datang dengan wajah represif, melainkan dengan bahasa damai, persatuan, dan kebersamaan. 


Namun di baliknya terselip tekanan moral, siapa yang enggan mengikuti arus dianggap menolak harmoni. Di titik inilah moderasi kehilangan ruhnya, berubah menjadi alat legitimasi kebijakan, dan menjauh dari nilai yang seharusnya ia jaga.


Yang dikorbankan bukan sekadar kejernihan berpikir, tetapi juga ketenangan batin umat.


Harmoni yang dipaksakan pada akhirnya rapuh. Ia tidak melahirkan kedewasaan, melainkan kepatuhan kosmetik. Ia tidak menumbuhkan saling memahami, tetapi menyuburkan kecurigaan. 


Lebih jauh lagi, ia berpotensi menjauhkan manusia dari kejujuran iman, karena keyakinan dipaksa menyesuaikan diri dengan narasi publik, bukan dengan suara nurani.


Karena itu, moderasi sejati menuntut keberanian, keberanian untuk jujur. Jujur pada iman, jujur pada batas, dan jujur pada peran masing-masing. 


Negara semestinya hadir sebagai penjaga keadilan ruang sosial, bukan sebagai penafsir wilayah sakral keyakinan. Sementara umat perlu diyakinkan bahwa menjaga iman tidak pernah bertentangan dengan hidup rukun.


Pada akhirnya, harmoni yang kokoh hanya lahir dari kesadaran, bukan rekayasa. Dari kejelasan, bukan ambiguitas. Dari iman yang teguh, bukan identitas yang dikaburkan.


Di sanalah moderasi menemukan wajah aslinya, menenangkan, bukan membingungkan, menyatukan, tanpa menghilangkan jati diri.