Beberapa waktu lalu, kami sempat berkunjung ke Korea. Sebuah negeri yang memikat dengan kecanggihan teknologi dan kekayaan budayanya. Apalagi dengan artis drama nya, mampu membius emak2 hehehe....
Namun ada satu hal yang membuat kami harus selalu waspada: "makanan".
Di setiap minimarket, di setiap rak cemilan, kami tak sekadar membeli, kami "membaca". Memeriksa komposisi dengan teliti. Men-scan kandungan satu per satu. Mencari label halal seperti detektif. Anak-anak kami pun ikut terlibat. Mereka belajar memilah, memilih, dan bertanya dengan polosnya: "Ini ada babinya ndak, Ma?"
Teman-teman kami pun begitu, sangat hati-hati, teliti, dan waspada!
Semua takut mencicipi sesuatu yang haram, meski hanya setetes.
Betapa kami semua ingin memastikan, apa yang masuk ke tubuh ini adalah yang terbaik, dan yang *halal*.
---
Ketika Hati Mulai Bertanya
Namun kemudian, hati ini mulai bertanya: Apa arti halal yang sebenarnya? Dan bagaimana dengan "thayyiban"?
*Halal*—berarti diperbolehkan oleh syariat. Sesuai aturan Allah. Tidak mengandung unsur najis, tidak dari hewan yang disembelih tanpa menyebut nama Allah, tidak berasal dari sesuatu yang diharamkan.
*Thayyiban*—berarti baik, bersih, suci, bermanfaat. Tak sekadar halal dalam hukum, tapi juga layak dikonsumsi (secara nutrisi, kebersihan, dan akhlak)
Allah berfirman dalam Qs Al Baqarah 168
"Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik (thayyib) yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu."
Dari sudut pandang ilmiah, konsep *halalan thayyiban* ternyata sejalan dengan prinsip-prinsip nutrisi dan kesehatan modern. Penelitian menunjukkan bahwa makanan yang kita konsumsi tidak hanya mempengaruhi kesehatan fisik, tetapi juga kesehatan mental dan perilaku.
Bagaimana dampaknya terhadap kesehatan?
*Daging babi, misalnya, mengandung parasit *Trichinella spiralis yang dapat menyebabkan trikinosis. Trichinella spiralis ditularkan ke manusia melalui konsumsi daging mentah atau setengah matang (biasanya daging babi atau hewan liar seperti beruang, babi hutan, atau rubah) yang mengandung larva Trichinella.
Lemak jenuh dalam daging babi juga lebih tinggi dibandingkan daging halal lainnya, yang dapat meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular.
*Alkohol* terbukti secara ilmiah merusak sel-sel hati, otak, dan sistem saraf. WHO mengklasifikasikan alkohol sebagai karsinogen grup 1 yang dapat menyebabkan kanker.
*Bangkai* (daging yang mati tanpa disembelih) mengandung bakteri patogen dan racun yang berbahaya bagi tubuh karena proses dekomposisi yang sudah dimulai.
Sains di Balik Rezeki Haram
Penelitian psikologi menunjukkan bahwa *stres psikologis* akibat melakukan tindakan yang bertentangan dengan nilai moral dapat mengaktifkan sistem HPA (Hypothalamic-Pituitary-Adrenal) axis, yang memicu pelepasan hormon kortisol berlebihan. Hormon kortisol ini nama kerennya adalah hormon stres.
Efek Kortisol Berlebihan:
- Menurunkan sistem kekebalan tubuh
- Meningkatkan risiko depresi dan kecemasan
- Mengganggu fungsi kognitif dan memori
- Menyebabkan gangguan tidur
- Meningkatkan risiko penyakit jantung
Dampak pada Generasi Berikutnya
Penelitian *epigenetik* menunjukkan bahwa stres kronis dapat mengubah ekspresi gen yang diturunkan ke generasi berikutnya. Stres yang dialami orang tua akibat rezeki haram dapat mempengaruhi perkembangan psikologis anak.
Meskipun belum ada studi eksplisit yang meneliti "rezeki haram menyebabkan perubahan epigenetik pada keturunan", konsep ini bisa didekati secara rasional melalui jalur berikut:
1. Rezeki haram → rasa bersalah / tekanan batin → stres kronis psikologis
2. Stres kronis → perubahan epigenetik pada sel germinal (sperma/ovum)
3. Perubahan epigenetik → ekspresi gen keturunan → gangguan psikologis/emosional pada anak
(Rodgers et al., Nature Neuroscience (2015); Yehuda et al., Biological Psychiatry (2014); McGill University, PNAS (2011))
*Neurosains* juga membuktikan bahwa anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan penuh stres memiliki perkembangan korteks prefrontal yang terganggu: area otak yang bertanggung jawab untuk kontrol diri dan pengambilan keputusan.
Lalu, aku pun merenung lebih dalam. Bila makanan yang halal saja kita pilih dengan begitu cermat... *bagaimana dengan kehalalan yang tak kasat mata?* Yang tak tertulis di bungkus makanan, tapi mengalir dalam sumber rezeki kita?
Bagaimana dengan:
- Uang hasil riba: yang menggerogoti keberkahan?
- Gaji dari waktu kerja yang tidak jujur—datang terlambat, pulang lebih cepat?
- Jabatan yang digunakan tanpa amanah—menyalahgunakan wewenang atau tidak menjalankan tugas.sesuai tupoksi?
- Penjual yang menakar dagangannya dengan curang—mengurangi timbangan?
- Laporan fiktif yang dibuat demi keuntungan sesaat?
- Komisi gelap yang diperoleh dari praktik korupsi?
- Rezeki dari proyek yang sarat manipulasi?
Dari sudut pandang neurosains, ketika seseorang melakukan tindakan yang bertentangan dengan nilai moral yang diyakininya, maka terjadi konflik kognitif yang disebut cognitive dissonance
Cognitive dissonance (disonansi kognitif) adalah kondisi ketegangan psikologis atau ketidaknyamanan mental yang terjadi ketika seseorang memiliki dua atau lebih keyakinan, nilai, atau sikap yang saling bertentangan, atau ketika perilakunya tidak sesuai dengan keyakinan atau nilai yang diyakininya.
Contoh sederhana:
Seorang mahasiswa percaya bahwa menjaga kesehatan itu penting (keyakinan), tetapi ia sering begadang dan jarang olahraga (perilaku). Ketidaksesuaian antara keyakinan dan perilaku ini bisa menimbulkan disonansi kognitif — rasa bersalah, cemas, atau tidak nyaman.
Penelitian menunjukkan bahwa orang yang sering melakukan tindakan tidak etis, akan mengalami penurunan aktivitas di area otak yang bertanggung jawab untuk empati dan pengambilan keputusan moral.
Rezeki yang haram, meski lezat di mulut, akan menjadi *racun neurologis*. Ia akan mengalir ke sistem saraf, mempengaruhi neurotransmitter, dan akhirnya mengubah struktur otak. Dampaknya: hati yang keras (berkurangnya empati), rumah tangga yang rapuh (gangguan bonding), anak-anak yang sulit diatur (gangguan regulasi emosi), doa yang tertolak (hilangnya ketenangan spiritual).
Penelitian dari Harvard Business School menunjukkan bahwa *kejujuran* memiliki dampak positif pada kesehatan mental dan fisik:
Manfaat Kejujuran Berdasarkan Penelitian:
- Menurunkan kadar kortisol (hormon stres)
- Meningkatkan kualitas tidur
- Memperkuat sistem kekebalan tubuh
- Meningkatkan kepuasan hidup
- Memperbaiki kualitas hubungan interpersonal
Sebuah studi dari University of Notre Dame menemukan bahwa orang yang berkomitmen untuk jujur mengalami:
- Penurunan keluhan fisik sebesar 54%
- Peningkatan kualitas hubungan keluarga
- Peningkatan performa mental
Maka mari kita renungkan bersama:
*Halalan thayyiban bukan sekadar tulisan di kemasan*. Ia adalah kompas hidup yang menuntun setiap langkah kita; dan kini sains membuktikan kebenarannya.
Ia adalah *kejujuran dalam berdagang* yang terbukti menurunkan stres, tanggung jawab dalam bekerja yang meningkatkan kepuasan hidup, atau amanah dalam memimpin yang memperkuat bonding sosial.
Karena sejatinya, makanan yang baik tidak hanya mengenyangkan perut, tapi juga *menumbuhkan iman*.
Rezeki yang halal tidak hanya memenuhi kebutuhan, tapi juga *mengoptimalkan fungsi otak dan kesehatan mental*.
Jadi, mari kita mulai dari diri sendiri.
Jangan hanya teliti membaca label makanan, tapi juga *teliti dalam mencari rezeki*.
Jangan hanya takut memakan yang haram, tapi juga *takut memperoleh yang haram*.
Karena *halalan thayyiban* adalah jalan menuju keberkahan yang hakiki—di dunia dan akhirat.
Dan kini, sains modern membuktikan bahwa apa yang Allah perintahkan 1400 tahun lalu adalah yang terbaik untuk kesehatan fisik, mental, dan spiritual kita.
Ayo, kita mulai bersama-sama....
Demi generasi bangsa yang kita cintai...