Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata: كَانَ تَلْبِيَةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لَا شَرِيكَ لَكَ لَبَّيْكَ، إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ، لَا شَرِيكَ لَكَ. Artinya: "Talbiyah Rasulullah ﷺ adalah: 'Labbaika Allahumma labbaik, labbaika la syarika laka labbaik, innal hamda wan ni‘mata laka wal mulk, la syarika lak.'" (HR. Bukhari dan Muslim)
Kalimat "Labbaika Allahumma labbaik" adalah jawaban berulang seorang hamba terhadap panggilan Allah swt. Jawaban yang tidak sekadar terucap di lisan, tetapi juga mengalir di dalam jiwa. Kata "Labbaik" sendiri bermakna “Aku datang memenuhi panggilan-Mu dengan sepenuh cinta, ketaatan, dan kerinduan.” Apabila dicermati, kata talbiyah dalam hadis Nabi saw di atas, diulang sebanyak empat kali. Lalu, apakah empat kali pengulangan kata talbiyah itu hanya sekadar gaya bahasa, ataukah ia memuat isyarat makna yang lebih dalam?
Dalam tradisi Islam, pengulangan "Labbaik" dalam talbiyah dipahami sebagai bentuk penegasan dan penguatan niat serta kesungguhan seorang hamba dalam memenuhi panggilan Allah swt untuk melaksanakan ibadah haji atau umrah. Pengulangan ini mencerminkan kesiapan dan keikhlasan total dalam menjalankan perintah-Nya.
Di dalam untaian Talbiyah yang diajarkan oleh Nabi ﷺ, terdapat kalimat-kalimat agung yang menggambarkan kedalaman penghambaan dan keagungan ketuhanan: Innal hamda – Sesungguhnya segala puji hanyalah milik-Mu, Wan ni‘mata – Segala nikmat yang mengalir dalam hidup kami, bersumber dari-Mu, Laka al-mulk – Seluruh kekuasaan dan kerajaan semesta berada dalam genggaman-Mu, La syarika laka – Tiada sekutu sedikit pun bagi-Mu, Engkau Maha Esa tanpa tandingan.
Keempat kalimat ini bukan sekadar pujian, melainkan fondasi dari Empat Asas Kepemilikan Allah – bahwa pujian, nikmat, kekuasaan, dan keesaan hanyalah hak-Nya semata. Maka setiap kali hamba melafazkan Talbiyah, sejatinya ia sedang meneguhkan kembali pengakuan tulus tentang siapa dirinya dan kepada siapa ia berserah.
Maka, empat kali seruan “Labbaika” bukanlah pengulangan kosong, melainkan jawaban penuh cinta atas empat aspek agung ketuhanan yang termaktub dalam Talbiyah. Seolah-olah seorang hamba yang merendahkan diri di hadapan Rabb-nya berkata dalam gemetar hatinya: Labbaika, ya Allah… Innal hamda Aku datang memenuhi panggilan-Mu. Aku hadir bukan karena layak, tapi karena Engkau memanggil. Aku bersaksi dengan seluruh jiwaku bahwa tiada yang patut dipuji selain Engkau. Segala puji hanyalah milik-Mu, yang Mahasuci dan Mahaindah.
Labbaika, ya Allah… Wan ni’mata Aku datang mengakui bahwa setiap nikmat yang mengalir dalam hidupku—dari napas hingga air mata, dari tawa hingga ujian—semuanya dari-Mu. Tidak ada satu pun yang berasal dari selain-Mu. Nikmat-Mu tiada bertepi, dan aku hanyalah penerima yang lalai.
Labbaika, ya Allah… Laka wal mulk Aku datang menyatakan bahwa seluruh kerajaan di langit dan di bumi hanyalah milik-Mu. Engkaulah Raja yang tiada banding, tiada batas kekuasaan-Mu. Aku hamba-Mu, kecil dan hina, berdiri di hadapan Kemahabesar-Mu.
Labbaika, ya Allah… La syarika laka Aku datang dengan pengakuan tulus bahwa Engkau tidak memiliki sekutu. Engkau Esa, tunggal, tiada yang menyerupai-Mu dalam sifat maupun zat. Cinta dan pengabdianku hanya untuk-Mu, selamanya.
Secara lebih dalam, empat kali pengulangan kata "Labbaika" bukan sekadar lantunan lisan, melainkan perjalanan hati untuk membersihkan diri dari empat bentuk syirik yang halus, yang kerap menyusup tanpa terasa. Ia adalah ikrar suci untuk mengikis syirik dalam niat—ketika seseorang berhaji bukan karena Allah, tapi demi gengsi atau dunia. Ia adalah seruan tulus untuk menanggalkan syirik dalam amal—saat ibadah dilakukan bukan untuk ridha-Nya, tapi agar dipuji manusia. Ia adalah jeritan jiwa untuk menolak syirik dalam harapan—ketika hati lebih menggantungkan diri pada makhluk, bukan pada Sang Khaliq. Dan ia adalah madah cinta untuk menghapus syirik dalam cinta—saat kasih sayang terbelah, mencintai sesuatu lebih dari cinta kepada-Nya. Empat kali Labbaika adalah empat tetesan tobat dari hati yang ingin kembali jernih—yang ingin berhaji dengan niat lurus, amal ikhlas, harapan murni, dan cinta yang utuh, hanya untuk Allah semata.
Menurut Imam Al-Ghazali, makna talbiyah mencerminkan penyerahan total (al-taslim), dan kalimat "Innal hamda..." adalah bentuk dzikr al-haqiqah—pengakuan hakikat tentang siapa Allah dan bagaimana relasi hamba dengan-Nya. Hingga di sini, pengulangan empat kali kata "Labbaik" dalam Talbiyah, bukan sekadar gaya bahasa, tetapi sebuah latihan spiritual agar hati, lisan, jiwa, dan amal perbuatan ikut hadir dalam "labbaik"-nya.
Talbiyah bukan sekadar bacaan, ia adalah latihan untuk meneguhkan maqām tauhid dalam jiwa. Perhatikanlah, kalimat “lā syarīka laka”—tiada sekutu bagi-Mu—disebut dua kali: sekali di awal, dan diulang kembali di akhir. Ini bukan kebetulan. Ia menjadi penanda bahwa seluruh perjalanan haji, dari langkah pertama hingga terakhir, sejatinya adalah perjalanan untuk menegakkan tauhid yang murni—memurnikan ibadah hanya kepada Allah, tanpa menyekutukan-Nya dalam niat, harapan, cinta, atau amal.
Ibadah haji adalah perjalanan lahir dan batin, tempat seorang hamba membasuh diri dari segala bentuk syirik, meski yang paling halus sekalipun. Maka yang paling penting bukan hanya sampai ke Ka'bah, tapi sampai pada keyakinan bahwa tiada sekutu bagi Allah—dalam pujian, nikmat, kekuasaan, dan penyembahan.
Talbiyah bukan sekadar seruan, ia adalah syahadat yang diulang dalam perjalanan suci menuju Allah. Ia adalah ikrar cinta, janji setia, dan pengakuan akan keesaan-Nya yang keluar dari lisan, menyentuh hati, dan menggema dalam ruh.
Ketika seorang hamba mengucapkan: “Innal hamda wan ni‘mata laka wal mulk, la syarīka lak”, ia tidak sekadar memuji, tetapi menyatakan seluruh hidupnya adalah milik Allah: pujian hanya bagi-Nya, nikmat datang dari-Nya, kekuasaan milik-Nya, dan tiada sekutu bagi-Nya.
Dan saat talbiyah diulang empat kali—"Labbaika... labbaika... labbaika... labbaika..."—itulah suara jiwa yang telah terbakar rindu, berkata: “Aku datang, ya Allah... aku datang... dengan seluruh cintaku, dengan seluruh diriku, dengan jiwa yang ingin pulang hanya kepada-Mu.”
Talbiyah adalah syahadat seorang musafir abadi—yang meninggalkan dunia demi kembali ke hadirat Tuhannya. Maka siapa pun yang melafazkannya dengan sepenuh kesadaran, sejatinya sedang mengetuk pintu langit, dengan kalimat tauhid sebagai bekal pulangnya.
(Makassar, Tamangapa, Perum Grand Aroeppala.)