*Bismillāhir-raḥmānir-raḥīm*
Dalam Surah Al-Ḥajj ayat 27, Allah berfirman kepada Nabi Ibrahim:
وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَىٰ كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِن كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ
"Dan serukanlah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan dengan mengendarai unta yang kurus, mereka datang dari segenap penjuru yang jauh." (QS. Al-Ḥajj: 27)
Bayangkan, saat Ibrahim menerima perintah ini, Makkah masih padang gersang. Tak ada bandara, tak ada hotel, tak ada media promosi. Tapi Allah berkata:
"Wahai Ibrahim, engkau serulah, dan Aku yang akan menyampaikan suara itu ke hati manusia.” Maka, sejak saat itu, seruan Ibrahim terus menggema sampai hari ini.
Setiap kali kita mengucapkan:
*لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْك...*
"Aku penuhi panggilan-Mu, ya Allah, aku datang memenuhi panggilan-Mu..."
Sesungguhnya, kita sedang menjawab panggilan Ibrahim atas nama Allah. Kita bukan sekadar pelancong yang datang ke Makkah, tapi tamu yang dijemput oleh panggilan cinta ilahi.
Talbiyah bukan hanya kalimat yang diucapkan oleh lisan. Ia adalah jeritan jiwa yang haus pertemuan dengan Tuhannya.
Talbiyah adalah ikrar bahwa kita datang bukan karena mampu, tapi karena Allah yang memanggil. Talbiyah adalah nyanyian rindu seorang hamba yang ingin kembali kepada Tuhannya dengan seluruh tubuh, harta, dan hatinya. Talbiyah juga adalah jawaban atas perjanjian azali, sebagaimana dalam Al-Qur’an:
*وَاِذْ اَخَذَ رَبُّكَ مِنْۢ بَنِيْٓ اٰدَمَ مِنْ ظُهُوْرِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَاَشْهَدَهُمْ عَلٰٓى اَنْفُسِهِمْۚ اَلَسْتُ بِرَبِّكُمْۗ قَالُوْا بَلٰىۛ شَهِدْنَا ۛاَنْ تَقُوْلُوْا يَوْمَ الْقِيٰمَةِ اِنَّا كُنَّا عَنْ هٰذَا غٰفِلِيْنَۙ*
(Ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari tulang punggung anak cucu Adam keturunan mereka, dan Allah mengambil kesaksiannya terhadap diri mereka sendiri (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi.” (Kami melakukannya) agar pada hari Kiamat kamu (tidak) mengatakan, “Sesungguhnya kami lengah terhadap hal ini.” (QS. Al-A‘rāf: 172)
Sungguh, keberangkatan menunaikan ibadah haji sejatinya bukan sekadar perjalanan fisik. Ini adalah perjalanan jiwa — perjalanan rindu, perjalanan cinta. Kita datang dari tempat yang jauh, bukan hanya jauh secara geografis, tetapi juga jauh secara ruhani.
Kita telah lama terasing dari fitrah, terpisah dari cahaya kedekatan, dan tersesat di lembah-lembah kelalaian.
Maka, ketika Allah berfirman:
*يَأْتُوكَ رِجَالًا...* "Mereka datang kepadamu dengan berjalan kaki..."
Ini bukan sekadar tentang langkah kaki. Ini adalah isyarat tentang tekad yang kuat, tentang pengorbanan, tentang betapa cinta itu membuat seorang hamba rela meninggalkan segalanya demi memenuhi panggilan Tuhannya.
Dan ketika disebut:
*يَأْتِينَ مِن كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ* "Mereka datang dari setiap lembah yang dalam,"
jangan hanya kita bayangkan peta dan jarak. Lembah yang dalam itu bisa jadi adalah lembah dosa, lembah lupa, lembah futur, lembah kehampaan spiritual. Tapi kini, dalam momen haji ini, kita keluar dari lembah-lembah itu. Kita bangkit, kita kembali, kita menempuh perjalanan suci — bukan karena kita suci, tetapi karena kita rindu untuk disucikan.
Kita datang dengan segala keterbatasan, membawa beban luka, salah, dan dosa. Tapi kita juga datang membawa satu hal yang Allah cintai, yakni kerinduan. Maka, jangan remehkan perjalanan ini. Sebab ini adalah panggilan cinta dari Dia yang tak pernah menutup pintu-Nya. Kita menjawab.
"Labbaikallahumma labbaik," bukan hanya dengan lidah, tapi dengan seluruh jiwa yang rindu untuk kembali pulang kepada-Nya.
Ketika seorang hamba mengucapkan labbaik, sejatinya ia sedang mengikrarkan kesiapan: siap meninggalkan hiruk-pikuk dunia, siap melepaskan diri dari belenggu dosa, ego, dan nafsu. Ia datang bukan sebagai wisatawan ruhani, tapi sebagai pecinta yang kembali ke pangkuan Sang Kekasih.
Talbiyah bukan sekadar lantunan lisan. Ia adalah seruan dari lubuk jiwa yang terdalam: "Ya Allah, aku datang..." Sebab sejatinya, kita tidak sedang datang ke Makkah hanya untuk melihat Ka‘bah — kita datang untuk melihat diri kita sendiri, berdiri di hadapan Allah. Menyaksikan siapa sejatinya diri ini, siapa Tuhan yang selama ini kita lalaikan, dan untuk apa sebenarnya hidup ini kita jalani.
Maka, jangan biarkan hanya lisan yang berkata labbaik. Biarkan hatimu ikut berseru. Biarkan jiwamu gemetar dalam rindu. Biarkan hidupmu mulai kembali ke arah yang benar. Ketika kelak engkau berdiri di Arafah, menangis dalam pelukan angin dan langit yang menjadi saksi...
Ketika engkau thawaf mengitari Ka‘bah yang agung, meneteskan air mata di bawah cahaya langit malam... ketika engkau berjalan di Mina dan Muzdalifah — ketahuilah, engkau sedang menjawab panggilan kasih dari Dia yang telah lama menunggu jawabanmu.
Maka, sekali lagi... Jangan hanya lisanmu yang berkata labbaik.
Biarkan hatimu, biarkan seluruh ragamu, biarkan hidupmu... ikut berkata: "Aku datang, ya Allah... aku datang. Aku tinggalkan segalanya, demi kembali kepada-Mu..."
*Makassar, 11 April “Grand Aroeppala Tamangapa”*