Gambar HAJI PERTAMA: JEJAK CINTA DAN DOA VIA BELANDA


Di negeri jauh berangin sejuk,
Kenangan manis sering mengetuk.
Ibu Ras dan keluarga, tak sekadar tamu,
Tapi benih akrab yang tumbuh tanpa jemu.

Kuserahkan hati dalam pelayanan,
Bukan karena jabatan, bukan karena imbalan.
Seperti saat Pak Hadimulyah bertandang sebentar,
Kubiarkan ia bermalam di apartemen yang sederhana dan lapang benar.

Mungkin karena itu, saat kami berniat menunaikan haji,
Langkah terasa ringan, doa pun tak sunyi.
Visa mulus diurus di ibu kota,
Sebab Ibu Ras mengulurkan tangan, penuh percaya dan cinta.

Dana perjalanan ia pinjamkan tanpa beban,
Tanpa tanya kapan kembali, tanpa tekanan.
Maka berangkatlah kami dari Schiphol yang luas,
Dengan Egypt Air, berputar dulu ke Brussels, singgah di Mesir nan panas.

Di Den Haag, kala Menteri Agama datang bertamu,
Bersama Dirjen Haji, pembicaraan pun mengalir penuh temu.
Kami lobi dengan harap dan doa lirih,
Dirjen berkata, “Visa kami bantu urai, jangan bersedih.”

Hanya satu ganjalan:
Untuk visa Belanda harus tiga bulan bermukiman.
Maka visa istri kami urus dari tanah air tercinta,
Dan Ibu Ras tetap jadi penghubung segala asa.

Tak cukup di situ jasa Ibu Ras tersulam,
Hingga keberangkatannya pulang pun kami dampingi dengan salam.
Sampai Schiphol pun kami antar langkahnya,
Bersyukur bisa membalas walau hanya secuil jasanya.

Dari Belanda menuju Tanah Haram,
Langkah kami rombongan jadi syair yang dalam.
Haji pertama itu tak sekadar ibadah biasa,
Tapi juga jejak cinta, tolong-menolong, dan rasa percaya.

Wasalam,
Kompleks GPM, 19 Juni 2025