Gambar H. FADLI LURAN: TEORI KETERNCAMAN  YANG MEMBUATNYA DINAMIS


Dalam satu sesi di Pengajian Aqsha,
Seorang bertanya dengan nada kagum dan ingin tahu:
Mengapa H. Fadli Luran begitu teguh beragama,
Melampaui banyak dari kita yang lahir dari keyakinan yang sama?

Seseorang menjawab—bukan sembarang orang,
Seorang sosiolog,
Dengan lensa ilmu yang tajam
dan suara yang tenang:

"Beliau datang dari Enrekang yang bertetangga dari utara dengan Toraja,
Suatu batas yang tak pernah benar-benar diam,
Di mana Muslim dan Kristen berdiri saling jaga,
Di sana keterancaman adalah bahasa sehari-hari yang diam-diam membentuk jiwa."

Dari perbatasan itulah keteguhan itu tumbuh,
Dalam kesadaran bahwa iman bisa diuji kapan saja,
Maka kesiapan bukan pilihan—
Tapi sebuah cara hidup yang menjelma menjadi watak.

Fadli Luran dibesarkan dalam atmosfer kesiapsiagaan,
Ia hidup seperti seorang penjaga malam,
Mewaspadai bayang-bayang,
Namun tetap tenang, tetap mendakwahkan terang.

Di New York, jauh dari Enrekang,
Saya mendengar kisah serupa dari Imam Syamsi Ali,
Tentang serangan pada Menara Kembar
dan seorang pejalan kaki Palestina yang tak gentar.

Saat orang lain lari dalam panik dan ketakutan,
Ia berjalan tenang, seakan badai bukan hal baru.
"Kami biasa hidup di bawah dentuman dan debu," katanya,
"Jadi serangan di sini hanya seperti desiran angin di kampungku."

Itulah teori kebiasaan,
Yang menyandingkan keterancaman dengan kekuatan,
Bahwa yang biasa diuji menjadi terbiasa kuat,
Dan yang akrab dengan bahaya, tahu bagaimana menjaga martabat.

Lalu saya bandingkan dua negeri yang berbeda:
Brunei yang tenang dan Indonesia yang bergelora.
Yang satu homogen dan satu beragam,
Yang satu mapan dan satu penuh pergolakan.

Brunei memilih satu mazhab, satu cara, satu suara.
Indonesia memeluk pluralitas dengan sabar dan luka.
Dari sini kita belajar:
Bahwa keragaman, tantangan,
dan ancaman yang datang silih berganti—
Membentuk manusia seperti Fadli Luran
yang kokoh berdiri di tengah gelombang zaman.

Ia tak pernah goyah,
Karena ia lahir dari tanah yang belajar menjaga,
Dan hidup di antara kemungkinan yang bisa merobek keyakinan—
Tapi justru menguatkannya, menjadikannya pilar keimanan.

Maka, wahai generasi yang datang setelahnya,
Jika ingin mengenang beliau,
Jangan hanya simpan namanya di batu nisan,
Tapi hiduplah seperti dia:
Membangun masjid, menyatukan umat,
Menjadi lilin di malam gelap.

Karena keterancaman bukan untuk ditakuti,
Melainkan untuk ditempa menjadi keteguhan,
Dan kebiasaan bukan sekadar rutinitas,
Tapi jalan panjang menuju keutuhan iman.

Wassalam,
Kompleks GFM, 6 Juni 2025