Gambar H. FADLI LURAN: SUARA YANG DIDENGAR, WIBAWA YANG DISEGANI


Di hari yang tenang sepulang bertugas,
Kupijakkan langkah di kantor IMMIM yang kukasih.
Di sana, H. Fadli Luran menyambut ramah,
Dengan wajah teduh dan sorot mata yang jernih.

“Pengajian Aqsha menurun sejak kau pergi,” katanya lirih.
Kalimat itu bukan sekadar keluh,
Tapi getar cinta akan hidupnya dakwah,
Yang ia jaga seperti cahaya yang rapuh.

Belum sempat aku menjawab tanya,
Tangannya sigap angkat gagang telepon lama.
Langsung ia hubungi petinggi kampus,
Meminta agar aku kembali ke Makassar—
demi menghidupkan cahaya pengajian yang nyaris pupus.

Aku hanya duduk dalam diam dan takjub,
Menyaksikan ucapannya ditaati tanpa ragu.
Tak ada teriakan, tak ada ancaman,
Hanya ketulusan yang menjelma jadi kekuatan.

Wakil Rektor pun pernah bersuara,
“Ada yang ajaib dalam diri beliau,” katanya penuh rasa.
Bukan sihir, bukan gaib yang membayang,
Tapi ketulusan hati yang menyentuh ruang-ruang.

Dalam sosiologi klasik,
yang tak terjawab sering dikaitkan dengan langit.
Namun aku kini belajar lebih dalam,
Bahwa wibawa tak selalu datang dari hal-hal yang samar dan diam.

H. Fadli Luran, seorang tujjār sejati,
Yang mencintai agama lebih dari harta yang dimiliki.
Keikhlasannya menjelma pengaruh yang nyata,
Ucapan dan tindakannya menjadi cahaya di dada.

Tak lama berselang, datang surat keputusan,
Aku kembali ke kampus, ke Fakultas Syariah dalam amanah.
Pengajian Aqsha pun hidup kembali,
Dengan semangat yang dulu beliau nyalakan dalam hati.

Hingga pensiun, langkahku tak pernah jauh dari cahaya itu,
Yang pernah dinyalakan seorang manusia berbudi luhur dan syahdu.
Namanya: H. Fadli Luran—
yang wibawanya tetap hidup dalam kenangan yang takkan luput oleh waktu.


---

Wassalam,
Kompleks GFM, 30 Mei 2025