Pernahkah kita berdiri di depan cermin sebelum fajar, ketika kota atau dimana kita berdomisili masih terbungkus embun, lalu bertanya tanpa berkilah, apakah Garuda di dadaku hanya simbol di kain atau sudah menjadi denyut di nadi?
Apakah ia sekadar hiasan di dada, atau telah menuntun cara kita memandang tetangga, menilai lawan, dan memperlakukan yang lemah?
Ketika harga-harga menanjak dan kabar PHK mengetuk pintu-pintu, apakah hati kita ikut retak, atau kita menutup jendela agar rintihan tak masuk?
Jika ada dua jalan, satu jalan menguntungkan diriku saja, satu jalan menguatkan banyak orang, jalan mana yang kupilih saat tak seorang pun melihat?
Saat ada peluang kecil untuk culas, apakah aku mengajak akalku bersekongkol, atau kuperintahkan nuraniku berdiri?
Apakah kita sungguh percaya bahwa bangsa ini pulih ketika aku sendiri jujur, atau kita masih menunggu orang lain duluan?
Benarkah kita mencintai persatuan, sementara lidah kita gemar membelah dengan prasangka?
Ketika anak-anak di pulau terluar memikul tas robek demi meraih pelajaran, mengapa kita rela merobek harap mereka dengan kebijakan yang menguntungkan segelintir?
Saat pelangi kebinekaan hendak pudar, apakah kita menyalakan kembali warnanya, atau ikut meniupkan abu yang menggelapkan langit?
Garuda bukan sekadar lambang, ia adalah disiplin rasa. “Di dadaku” berarti ia tinggal di pusat keputusan, di ruang-ruang rapat, di meja kebijakan, di loket pelayanan, di kelas-kelas, di sawah-sawah, di pabrik-pabrik, di layar gawai dan dompet digital kita.
Garuda di dada adalah keberanian mengurangi jatah diri agar keadilan bertambah bagi banyak orang.
Itulah ruh pengorbanan yang diajarkan agama, dan Islam mengikatnya dengan simpul persatuan:
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا
“Berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah bercerai-berai.” (Āli ‘Imrān: 103)
Tetapi apa arti persatuan bila ia hanya dipakai untuk menambal baliho, sementara jurang sosial dibiarkan menganga?
Mengapa ada kebijakan yang terasa ramah pada puncak, namun dingin di lereng dan beku di lembah? Berapa banyak anak cerdas berhenti kuliah karena biaya?
Berapa banyak kepala rumah tangga memilih antara membeli beras atau membayar obat?
Mengapa hukum tampak gagah menatap rakyat kecil, tetapi menunduk ketika berpapasan dengan orang kuat?
Bukankah Nabi SAW. sudah memperingatkan:
إِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِينَ قَبْلَكُمْ… إِذَا سَرَقَ فِيهِمُ الشَّرِيفُ تَرَكُوهُ وَإِذَا سَرَقَ فِيهِمُ الضَّعِيفُ أَقَامُوا عَلَيْهِ الْحَدَّ
“Yang membinasakan umat-umat sebelum kalian: bila yang mencuri adalah orang terpandang, mereka biarkan; bila yang lemah, mereka tegakkan hukuman atasnya.” (Bukhārī–Muslim)
Apakah kita rela negeri ini berjalan dengan kompas yang jarumnya disetel oleh kepentingan sempit?
Atau kita memilih kembali pada poros amanah yang suci:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ
“Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian menunaikan amanah kepada yang berhak, dan apabila menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah dengan adil.” (An-Nisā’: 58)
Keadilan bukan slogan, ia adalah tata cara mencintai sesama.
Tanpanya, Garuda di dada menjelma bayang-bayang. Nabi SAW. menggambarkan bangsa sehat seperti bangunan kokoh:
المُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا
“Seorang mukmin bagi mukmin lain bagaikan bangunan yang saling menguatkan.” (Bukhārī–Muslim)
Satu batu bata retak, seluruh dinding ikut bergetar.
Itulah mengapa iḥsan ( احسن),membuat yang di sekitar kita menjadi lebih baik, harus menjadi kebiasaan:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ
“Sesungguhnya Allah memerintahkan (kalian) berlaku adil dan berbuat ihsan.” (An-Naḥl: 90)
Lalu kita bertanya lagi kepada diri: ketika kabar duka datang dari kampung yang bukan kampungku, dari suku yang bukan sukuku, dari agama yang bukan agamaku, apakah air mata kita enggan datang?
Padahal Al-Qur’an menegur yang memamerkan ibadah tetapi membiarkan perut kosong di sampingnya:
أَرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ • فَذَلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ • وَلَا يَحُضُّ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ
“Tahukah engkau orang yang mendustakan agama? Itulah yang menghardik anak yatim dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.” (Al-Mā‘ūn: 1–3)
Nasionalisme tanpa empati adalah cangkang kosong. Empati tanpa tindakan adalah kabut perasaan.
Maka iman menuntun kita karena iman adalah kerja: mencintai sesama seperti diri sendiri.
لا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Tidak sempurna iman salah seorang di antara kalian hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya.” (Bukhārī–Muslim)
Di sini, Garuda bertemu i’tsār (altruisme),ketika kita rela menunda kepentingan kecil milik diri demi kepentingan besar milik semua:
وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ
“Mereka mendahulukan (orang lain) atas diri mereka sendiri, meski mereka sendiri membutuhkan.” (Al-Ḥasyr: 9)
Maukah kita menakar ulang isi dompet, isi pikiran, dan isi kebijakan kita dengan timbangan ayat ini? , Maukah kita menanyakan pada jabatan, engkau alat ibadah atau alat pujian? Pada kekayaan, engkau jembatan kebaikan atau pagar ego?
Para salaf menyalakan pelita teladan itu. ‘Umar ibn al-Khaṭṭāb raḍiyallāhu ‘anhu berkata:
لو عثرت بغلةٌ بالعراق لخشيتُ أن يسألني الله عنها: لِمَ لم تمهِّد لها الطريق؟
“Seandainya seekor baghal tersandung di Irak, aku khawatir Allah akan menanyaku, mengapa engkau tidak meratakan jalan baginya?”
Dan lagi:
نَحْنُ قَوْمٌ أَعَزَّنَا اللَّهُ بِالإِسْلَامِ، فَمَهْمَا ابْتَغَيْنَا الْعِزَّةَ بِغَيْرِهِ أَذَلَّنَا اللَّهُ
“Kami adalah kaum yang dimuliakan Allah dengan Islam; jika kami mencari kemuliaan selain dengannya, Allah akan menghinakan kami.”
Al-Mawardi menegaskan peran kepemimpinan sebagai amanah peradaban:
الإِمَامَةُ مَوْضُوعَةٌ لِخِلَافَةِ النُّبُوَّةِ فِي حِرَاسَةِ الدِّينِ وَسِيَاسَةِ الدُّنْيَا
“Kepemimpinan ditetapkan sebagai pengganti kenabian dalam menjaga agama dan mengelola urusan dunia.”
Al-Ghazazali menautkan agama dan negara sebagai dua saudara kembar:
الدِّينُ وَالمُلْكُ تَوْأَمَانِ؛ فَالدِّينُ أَسٌّ وَالمُلْكُ حَارِسٌ؛ فَمَا لَا أَسَّ لَهُ مَهْدُومٌ، وَمَا لَا حَارِسَ لَهُ ضَائِعٌ
“Agama dan kekuasaan adalah dua saudara kembar; agama adalah fondasi dan kekuasaan adalah penjaga; yang tanpa fondasi pasti roboh, yang tanpa penjaga akan tersia-sia.”
Dan Ibn Taymiyyah menyentak kesadaran kita:
إِنَّ اللَّهَ يُقِيمُ الدَّوْلَةَ العَادِلَةَ وَإِنْ كَانَتْ كَافِرَةً، وَلَا يُقِيمُ الظَّالِمَةَ وَإِنْ كَانَتْ مُؤْمِنَةً
“Allah menegakkan (memberi keberlangsungan) bagi negara yang adil meski non-Muslim, dan tidak menegakkan negara yang zalim sekalipun Muslim.”
Terjemah kalimat-kalimat ini satu, keadilan adalah oksigen bagi negara, tanpa itu, kita semua kehabisan napas.
Maka mari kita bertanya sekali lagi, lebih jujur, lebih dalam, ketika berita buruk datang, apakah aku menjadi penyambung harap atau penyebar gelap?
Saat berbeda pilihan, apakah aku masih mengingat bahwa إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ” Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara.” (Al-Ḥujurāt: 10)
Atau aku menjadikan perbedaan sebagai alasan untuk memutus silaturahmi? ,Ketika di beranda media sosial ada kesempatan melukai, apakah kupilih untuk merangkul? ,Ketika di TPS ada kesempatan curang, apakah kupilih untuk jujur? ,Ketika di kantor ada kesempatan menitip nama, apakah kupilih untuk menolak?
Dan kepada para pemegang kuasa, ayat-ayat ini menatap tanpa berkedip, adakah kebijakan anda mengutamakan yang rapuh, atau memanjakan yang sudah kuat?
Adakah prosedur anda memudahkan rakyat kecil, atau mempersulit yang tak punya koneksi? Ingat sabda Nabi SAW:
الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Pemimpin adalah penggembala dan akan dimintai pertanggungjawaban atas gembalaannya.” (Bukhārī–Muslim)
Dan ingat pula:
«مَنْ لَا يَرْحَمْ لَا يُرْحَمْ»
“Siapa tidak menyayangi, tidak akan disayangi.” (Bukhārī–Muslim)
Bila ada yang bertanya, “Di mana jalan keluarnya?, “Jawabnya tidak puitis, tetapi harus tegas.
Garuda di dada menuntut kita kembali ke tiga hal yang sederhana namun berat: jujur saat mudah berbohong, adil saat mudah memihak, peduli saat mudah acuh.
Mulailah dari yang paling dekat: menunaikan hak yang bekerja untuk kita, membayar pajak dengan benar; tidak menyuap, membela yang dirugikan; menolak ujaran kebencian, memilih pemimpin karena integritas, bukan karena bingkisan; menagih kebijakan yang berpihak pada yang paling lemah. Inilah Bhinneka Tunggal Ika yang hidup
Bhineka Tunggal Ika artinya perbedaan diperlihara, kesamaan diperkuat, tujuan dipersatukan, agar kemajemukan menjadi persaudaraan, bukan perlombaan saling meniadakan.
Lalu kita kunci ikhtiar ini dengan doa; sebab kerja tanpa doa bisa congkak, doa tanpa kerja bisa hampa. Mari menengadahkan tangan:
اللَّهُمَّ احْفَظْ بِلَادَنَا إِنْدُونِيسِيَا، وَاجْعَلْهَا بَلَدًا آمِنًا مُطْمَئِنًّا، سَخَّاءً رَخَاءً، وَأَصْلِحْ وُلَاةَ أُمُورِنَا، وَاهْدِهِمْ لِلْعَدْلِ وَالرَّحْمَةِ وَالأَمَانَةِ. اللَّهُمَّ أَلِّفْ بَيْنَ قُلُوبِنَا، وَانْزِعْ مِنْهَا حُبَّ الذَّاتِ وَالظُّلْمَ وَالطَّمَعَ، وَارْزُقْنَا قَادَةً صَالِحِينَ يُحِبُّونَ شُعُوبَهُمْ وَيَخَافُونَكَ فِينَا، وَاجْعَلْ «غَرُودَا فِي صُدُورِنَا» عَهْدًا صَادِقًا لِلْخَيْرِ وَالْوَطَنِ.
“Ya Allah, lindungilah negeri kami Indonesia; jadikan ia negeri yang aman dan tenteram, murah rezeki dan sejahtera. Perbaikilah para pemimpin kami, bimbinglah mereka pada keadilan, kasih sayang, dan amanah. Satukanlah hati kami, cabutlah darinya cinta diri, kezhaliman, dan kerakusan. Anugerahkan kepada kami pemimpin yang saleh, mencintai rakyatnya dan takut kepada-Mu; jadikan ‘Garuda di dada kami’ sebagai janji yang jujur untuk kebaikan dan tanah air.”
Bila sesudah doa ini kita bergerak, meski satu langkah kecil, maka Garuda benar-benar hidup di dada, bukan sekadar gambar pada kain, melainkan hikmah yang menuntun keputusan, keberanian yang menegakkan keadilan, serta kasih yang merangkul semua warna Indonesia.
Dan bila tiap dada menepati janji itu, merah putih tak hanya berkibar di tiang-tiang kota, melainkan juga bersemayam di hati-hati yang saling menjaga.
#Wallahu A’lam Bis-Sawab