Pemimpin jujur adalah orang yang sejak awal sudah merumuskan niat baik, maka yang dicari adalah orang yang bisa membantu kesuksesanya, yaitu orang yang tidak akan menyalahgunakan amanah yang diberikan padanya. Benarlah, orang bijak berkata, "Jika ingin tahu kesuksesan program seseorang, maka lihatlah siapa sahabat yang membantunya."  

Demiikian sebaliknya, pemimpin culas adalah orang yang sejak awal memang  berniat jahat, maka yang dicari adalah sahabat jahat  yang bisa diajak kongkalikon dengannya. Sebenarnya ada juga kesalahan berasal dari sindiri, bila mengetahui ada seseorang yang sebgaja berbuat kesalahan, lalu dibiarkan tidak segera di menghentikan, tentu debgan cara nakruf. Bukankah dalam acara Islam diperitahkan AMAR MAKMUR DAN NAHI MUNKAR yang perlu diamalkan dengan tulus.

Dari sini bisa dilihat, apakah pemerintah jujur atau ingin memanipulasi? Jika mereka jujur pasti bisa dilihat pada siapa sahabat yang membantunya. Tetapi sebaliknya, jika ingin berbuat jahat, maka juga bisa disaksikan sahabatnya bahkan menurut Prof. Dr. Mahfud MD,  Rektor Umika (Universitas  Kristen) Semarng mulai diintimadasi agar membuat kontra narasi. Beruntung Rektor Unika masih berpegang pada etika, tidak ingin berbuat curang, tetap teguh mempertahankan nilai dan etika serta nilai dasar Pancasila.

Kecurigaan di atas bisa dipertanyakan, seperti kenapa Fahri Bahuri diangkat jadi ketua KPK, kenapa tidak lebih dahulu dipelajari rekan jejaknya? Kenapa Hasyim Asya'ry yang moralnya sudah dua kali dipersoslkan
diangkat jadi ketua KPU? Kenapa banyak menteri yang tersandra sekarang? Tentu saja pertanyaan semacam ini bisa diperpanjang, sayang kita dibatasi ruang.

Wasalam, 
Kompleks GPM, 10 Febr. 2024