Gambar FOOTNOTE HISTORIS: SESAL DAHULU PENDAPATAN, SESAL KEMUDIAN TAK BERGUNA


Pepatah di atas berasal dari khazanah nenek moyang dahulu. Pepatah ini sebaiknya sekali-sekaii perlu diangkat di permukaan sebagai pelajaran berharga.

Di awal kepemimpinannya, mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi) memang dengan citra kesederhanaan. Ia sering terlihat berbaur dengan rakyat kecil, melakukan blusukan ke pasar, perkampungan, bahkan masuk ke gorong-gorong untuk memahami masalah langsung dari lapangan. Citra ini sangat kuat pada periode awal jabatannya dan mendapat banyak pujian karena dianggap membawa gaya kepemimpinan yang berbeda dibandingkan dengan presiden sebelumnya.

Namun, seiring berjalannya waktu ketika memasuki periode kedua kepemimpinannya, ada beberapa kritik yang muncul terkait gaya hidup dan kebijakan diambil, yang dianggap bertentangan dengan citra awal tersebut. Beberapa pengamat politik dan masyarakat merasa bahwa terutama di akhir masa jabatannya, Jokowi dan lingkaran pemerintahannya terlihat lebih condong pada kemewahan atau kebijakan yang dianggap lebih berpihak pada kepentingan elite.

Menyaksikan ini, nampaknya kita tak perlu kecewa bahkan patut bersyukur karena kita memiliki khazanah warisan kesederhanaan. Pribadi mereka berbanding lurus antara perkataan dan perbuatan, seperti Bung Hatta, Prof. Dr. Baharuddin Lopa, SH. Jederal (Pur) Hugen dan sebagainya. Almarhum Prof. Bahauddin Lopa, misalnya, beliau mempertontohkan kesedarhanaan tatkala kebanyakan pejabat memamerkan barang mewah hasil rasuwah mereka. Bung Hatta dan kawan-kawan yang hidup penuh sederhana bahkan iklan sepatu Belly, Hatta simpan hanya sekedar menahan diri untuk membeli sepatu itu, sekalipun beliau dikenal sebagai Wakil Presiden. Berbeda dengan sebagian pemimpin sekarang yang hanya ingin membangun pencitraan. Setelah pencitraan itu tercapai lalu mereka lupa segalanya. Akhirnya, setelah semuanya ketahuan, mulai banyak pengikutnya yang kecewa, seperti seorang jurnalis catatan pinggir majalah Tempo, Muhammad Gunawan. 

Gunawan menyesal sejadi-jadinya. Sebab pernah menidolakan seorang Jokowi yang penuh kesederhanaan, ternyata sekedar menampilkan polesan sebagai pencitraan. Sekarang Gunawan berubah jadi kecewa berat karena hidup Jokowi berubah 100%. "Lain dahulu lain sekarang," katanya. Sekarang justru sedang tenggelam dalam kemewahan, membuat Gunawan menangis di tengah komprensi pers karena beliau menyesal dan merasa tertipu. "Saya sungguh menyesal pernah mendukung seseorang yang penuh kepalsuan," katanya penuh penyesalan di tengah komperensi perss. Penyesalan selalu datang kemudian, tetapi sebuah penyesalan yang tak berguna. Inilah yang dipesankan nenek moyang dahulu, "SESAL DAHULU PENDAPATAN, SESAL KEMUDIAN TAK BERGUNA."

Akhirnya, PDIP-lah yang mengawali pujian pada Jokowi. ialah mensponsori menjadi presiden. Sayang PDIP tidak punya prediksi bahwa akan membawa penyesalan di kemudian hari, tetapi setelah mengetahui iiJokowi berubah bahkan menacak-acak partai, maka ia pula yang mengakhiri. Bagai lirik sebuah lagu: "Kau yang memulai kau pula yang mengakhiri." 

Wasalam, 
Kompleks GFM, 24 Okt  2024