Saya merasa beruntung dalam hidup sebab sekitar tahun 1979- 1982 pernah tinggal di jalan Maipa sekitar Masjid Aqsha. Di sana saya banyak berinteraksi dengan ilmuwan kesehatan dan bersama-sama mengabdi di Pengajian Aqsha sambil belajar pada mereka.

Dalam suasana ini juga saya berkenalan dengan Husni Djamaluddin seorang yang saya anggap senior, tempat belajar berbagai ilmu. Husni dikenal sebagai seorang wartawan senior, Panglima Penyair. Beberapa alasan membuat saya akrabd3ngan beliau:
1. Saya bertetangga dengan beliau. Begitu dekat sehingga masalah yang bersifat privat pun diperbincangkan, sampai ketika ingin melamar untuk mendapatkan pasangan hidup, beliaulah yang pergi melamar dan rumahnyalah yang dijadikan tempat melamar.
2. Saya sekawanua, lahir satu kecematan dengan beliau, yaitu Kecamatan Tinambung, Kaupaten Polman. Tidak heran jika ada kegeiatannya selalu saya diikutkan dan demikian sebaliknya.
3. Kedekatan saya dengan beliau, karena saya satu jamaah di Masjid Aqha dengan beliau. Saya juga anggap diri saya sebagai yuniornya dan sebaliknya saya menganggapnya sebagai senior saya rutin bertukar pikiran di serambi Masjid Aqsha menugguh waktu shalat Isa. Biasanya setelah kami salat Maghrib kami menungguh waktu Isa di serambi masjid sambil cerita, sebagian cerita itu saya masih ingat dan sebagian sudah saya lupakan. Di antara kisahnya yang selalu saya ingat seperti  saya jadikan jidul artikel pada tulisan hari ini.

Pengaruh kebiasaan agama dalam kehidpan seorang remaja, seperti:
1. Islam sejak remaja sudah dibiasakan jadi khatib di mimbar Masjid sebagai bagian dari ibadah Jumat. Karena itu kebiasaan sebagai khatib mengantarkannya remaja Islam rata-rata ahli dalam beretorika atau ahli pidato ketika jadi dewasa.
2. Kristen sejak remaja sudah dibiasakan menyanyi kidung di gereja. Banyak di antara mereka jadi musikus tingkat nasional yang awalnya penyanyi gereja.
3. Hindu juga demikian, mereka sejak remaja sudah dibiasakan menari, misalnya Tari Sanghyang adalah tari sakral, merupakan tari kerauhan karena kemasukan roh, baik roh dedari maupun roh binatang yang memiliki kekuatan gaib. Tari ini merupakan warisan budaya pra-Hindu yang bertujuan menolak bala. Tari sanghyang ini merupakan tarian komunikasi spritual dari warga masyarakat dengan alam gaib dengan menyanyikan tembang-temban pemujaan dengan iringan tetabuhan. Terkadang, setelah dewasa mereka berunah jadi penari komersial dalam setiap perhelatan Nasional.

Demikian kisah almarhum Husni Djamaluddin yang masih saya ingat.

Wasalam,
Kompleks GPM, 19 Jan. 2024