Gambar FOOTNOTE HISTORIS: PANEL DISKUSI

Sebagai dikemukakan bahwa hari ini kita akan berbincang aktivitas pertama di DPP IMMIM. Hal ini sebagai lanjutan kisah Mubes DPP IMMIM seminggu lewat. Ketika itu Yamin Amna menemukan saya sebagai aktivis Remaja Masjid Aqsha. Dia memang mengharapkan bahwa mereka yang aktif di IMMIM  berasal dari group pemuda dan remaja masjid. Saya diminta dari Remaja Masjid Aqsha sebagai Ketua Panitia Diskusi Panel Muballig Profesional. Beberapa hari kepanitiaan ini digarap. Nara sumber dari IAIN, IKIP, dan UNHAS direkrut sebagai pembicara.

Sebagai remaja, kami menjadikan IMMIM  sebagai sentral kegiatan. Mulai saat itu, kami makan siang di IMMIM. Menurut jadwal panel diskusi akan dilaksanakan dua hari berturut-turut. Sayang sekali hari pertama  Gedung IMMIM sudah terlanjur dipersewakan pada masyarakat, sehingga hari pertama kami melaksanakan kegiatan di Gedung Jiwa, dan barulah hari kedua di Gedung IMMIM. Dalam suasana kepanitiaan ini saya dipertemukan jodoh yang tidak lama kemudian karena cocok mengantar ke jenjang perkawinan.

H. Fadli Luran sebagai Ketua Umum DPP begitu percaya pada saya sampai memberi anggaran Rp 450.000 (empat ratus lima puluh ribu rupiah). Uang sebanyak itu saat itu dianggap cukup lumayan. Ternyata lebih dari separuh uang itu bisa dihabiskan dan Rp 200.000,- sisahnya dikembalikan dalam laporan pertanggunjawaban. Saat itu idealisme kami masih tinggi sehingga amanah bisa dipelihara. Benar panitia rata-rata miskin tetapi jujur atau masih bisa dipercaya. Rata-rata kami baru saja selesai sarjana. Kami merasa gembira karena IMMIM dianggap lembaga yang bisa menampung kami dan memang lembaga ini bertujuan mempersatukan umat dari mana pun latar belakangnnya. Kepanitiaan ini mungkin masih bisa dibuka arsipnya sekitar akhir Desember 1981, saya masih ingat betul peristiwanya karena Husni Djamaluddin sebagai pembicara malam itu mengantarkan pembicaraannya dengan berkata; Alhamdulillah oleh Allah swt. masih memberi kesehatan pada kita sebab baru saja terjadi tadi pagi diskusi tentang Nurul Muhammad yang diselenggarakan Pengajian Aqha di mesjid kampus IAIN Alauddin yang begitu gempita sampai mesjid kampus penuh sesak dari jam 05.00 subuh sampai jam 09.00 pagi. Itulah puncak pengajian Aqsha sepanjang yang saya catat, sampai ada tamu khusus datang dari Mandar dan Jakarta, mereka sengaja datang mengikuti pengajian itu. Sebenarnya saya masih ingat nama kedua tamu terhormat itu.

Husni Djamaluddin juga berpandangan bahwa muballig professional sama dengan petinju professional. Mereka hidup dari professinya. Mungkinkah kita membentuk muballig professional? Tidak mungkin karena mereka tidak bisa hidup dari professi mubalignya. "Saya tahu persis berapa honornya seorang khatib sekali khotbah". Karena itu, menurut Husni, maka kita perlu bicara yang mungkin, yaitu yang dimaksud muballig professonal adalah, "Professional dalam penyajian tablignya tetapi amatiran dalam bayaran". Karena itu biasanya orang yang memjadika muballig sebagai pekerjaan adalah orang yang sudah punya professi tersendiri.

Wasalam,
Kompleks GPM, 5 Jan. 2023