Sejak periode awal di Madinah, Nabi telah berusaha menyatukan umat dari berpikir kelompok atau kabilah menuju berpikir persaudaraan islamiah. Tetapi karena realitas populasi Madinah bersifat plural dari segi etnis dan agama, maka Nabi membuat Piagam Madinah yang bisa menyatukan tanpa sekat etnis, suku, dan agama. Tidak heran jika seorang sejarawan Barat, Monggomory Watt, bahwa Piagam Madinah adalah konstitusi pertama yang lahir di dunia. Sedang Prof. Dr. Nurcholish Madjid berkata, Piagam Madinah lahir mendahului zamannya. Ada juga pandangan mengatakan Piagam Madinah yang isinya lebih 40 pasal itu sama dengan Piagam Jakarta yang bisa menyatukan berbagai suku, etnis, dan bangsa. Sayang piagam tersebut setelah wafatnya Nabi, tepatnya di zaman Usman terjadi sebuah peristiwa "Al Fitnatul Kubra" yang lantunannnya melambung jauh sampai sekarang. Dalam artikel ini, saya hanya sengajs tidak menyinggung dan memasuki masalah yang sensitif yang bisa menyinggung perasaan. Sekalipun demikian saya tetap terbuka menerima masukan.
Seharusnya tidak ada kesulitan bagi Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, dua organisasi mainstrem saat ini di Indonesia, untuk bersatu sebab mereka punya warisan berharga berupa Piagam Madinah, meskipun suasana keduanya, berbeda disebabkan perbedaan pendekatan keagamaan, budaya, dan orientasi sosial. Sayang masih ada umat yang tidak terbiasa berbeda pendapat. Dianggapnya perbedaan adalah permusuhan. Pada hal seperti telah dikemukakan bahwa perbedaan adalah sunnatulah atau teman mencari kebaikan. Beberapa faktor yang memengaruhi adalah:
TANTANGAN Perbedaan Pendekatan dalam Agama: NU mengadopsi pendekatan yang mengutamakan tradisi Islam lokal, amalan-amalan tarekat, dan budaya yang telah berakar lama di masyarakat Indonesia. NU lebih cenderung pada Islam tradisional yang mempertahankan aspek-aspek amaliyah seperti tahlilan, ziarah kubur, dan shalawatan. Sedang Muhammadiyah lebih berfokus pada purifikasi atau pemurnian ajaran Islam. Mereka cenderung berpegang pada kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah dengan menghindari praktik yang dianggap sebagai bid’ah atau tidak memiliki dasar kuat dalam dua sumber utama tersebut.
Perbedaan dalam Metode Pendidikan dan Pemikiran: NU berpegang pada sistem pendidikan pesantren yang mengajarkan kitab-kitab kuning (kitab klasik) dan metode tradisional dalam memahami Islam. Ini lebih menekankan pada aspek tafsir ulama-ulama klasik. Sedang Muhammadiyah, sebaliknya, menekankan pada modernisasi pendidikan dengan mendirikan sekolah-sekolah formal dan perguruan tinggi. Mereka lebih mengutamakan pendidikan yang berbasis sains dan teknologi selain ajaran agama.
Perbedaan Sosio-Budaya: NU lebih terkait erat dengan budaya masyarakat pedesaan dan mengakomodasi tradisi lokal, sedangkan Muhammadiyah lebih berorientasi pada masyarakat perkotaan dan kalangan intelektual. Perbedaan latar belakang sosial ini menciptakan karakteristik organisasi yang berbeda.
Kepemimpinan dan Otonomi Organisasi: Meskipun keduanya memiliki tujuan yang sama untuk memajukan umat Islam di Indonesia, masing-masing memiliki kepemimpinan yang kuat dan independen. Otonomi ini menjadikan keduanya sulit disatukan dalam satu wadah meski kadang berkolaborasi dalam isu-isu besar seperti kebangsaan.
Meskipun terdapat perbedaan, NU dan Muhammadiyah sebenarnya memiliki banyak kesamaan, terutama dalam hal fondasi akidah (Ahlus Sunnah wal Jama’ah)? dan kontribusi terhadap pendidikan, sosial, serta pengembangan masyarakat. Namun, perbedaan pendekatan dan budaya organisasi membuat persatuan formal atau menyatukan keduanya secara struktural menjadi tantangan.
HARAPAN Walaupun demikian, keduanya ada kecenderungan menuju pada saling mendekati. NU pada umumnya melaksanakan tarwih dua puluh, sekarang banyak generasi mudahnya cendrung melaksanakan tarawih delapan terutama di daerah perkotaan. Sebaliknya Muhammadiyah di awal kemerdekaan cendrung tidak melaksanakan tradisi ziarah kubur sebab dianggap bisa mengantar pada kemusyrikan. Sesuai perkembangan zaman, Muhammadiyah kini menganggap ziarah kubur manfaatnya bisa positif sebab sesuai hadis Nabi, yaitu mengingatkan pada kematian. Jika NU di awal kemerdekaan cenderung mendirikan pesantren di pedesaan dengan istilah desa mengepun kota. Maka sekarang mulai mendirikan Perguruan Tinggi. Sebaliknya Muhammadiyah cendrung mendirikan Perguruan Tinggi di daerah perkotaan dengan istilah, kota mengepung desa. Sekarang mulai juga mendirikan pesantren. Jadi ada kecenderungan saling mendekati keduanya.
Kedua organisasi mainstrem di atas, secara pribadi saya cendrung tidak ingin melibatkan diri, semata-mata agar leluasa bisa menganalisanya secara murni dan independent. Sekalipun beberapa kali tawaran datang menggoda. Namun, saya tetap ingin menjalin ukhuwah islamiyah dengan tulus pada mereka tanpa kecuali. Sepanjang belum bisa bersatu, saya berpandangan: "Islam yes!, organisasi sektarian no!"
Wasalam, Kompleks GFM, 21 Okt. 2024