Gambar FOOTNOTE HISTORIS: HIDUP APA ADANYA, TIDAK BERLEBIHAN

Pada tahun 1967 terjadi gempah bumi tektonik di kampung Pambusuang yang menimpah dua kabupaten di Mandar: Polmas dan Majene (masih Provinsi Sulawesi Selatan ketika itu).
Banyak orang yang ditimpah reruntuhan bangunan. Saya termasuk orang beruntung karena tidak salat rawatib ke masjid karena sakit, padahal termasuk orang yang rajin berjamaah.

Banyak orang di luar Mandar berdatangan di kampung berziarah menyatakan solidaritasnya. Di antarnya K.H. S. Hasan Jamalullail.  Biasanya jika ada ulama besar datang seperti beliau langsung dimanfaatkan memberi pengajian di Madjid Jami' antara Magrib dan Isya. Saya masih ingat pengajian itu, bahkan sebagian yang hadir ketika itu. Soalnya saya hadir sebagai saksi sejarah.

Sekalipun masih anak-anak (15 tahun) masih ingat materi pengajiannya dengan judul "Hiduplah apa adanya. Jika sedih dan gembira tidak usah berlebihan." Dari sini K.H. Sayyid Hasan Jamaluluail memulai pengajiannya. Seorang musafir dengan membawa barang dagangan, katanya memulai. Karena kecapean ia beristirahat di bawah pohon kayu yang rindam. Munkin lantaran kecapean membuat sang musafir tertidur pulas. Ketika terbangun ia sangat kaget karena unta yang penuh muatan barang dagangan hilang tidak tahu ke mana rimbanya. Akhirnya, ia berikhtiar mencarinya di sekitar tempat itu tetapi tidak ditemukannya. Dalam keadaan sangat sedih ia kembali ke tempat semula istirahat. Sungguh gembira luar baisa ternyata untanya yang hilang datang sendiri ke tempat semula. Alangkah gembiranya tak terkira sampai sang musafit salah ucap,
لاله الا انا فاعبدواني
(Tidak ada tuhan selain saya, maka sembahlah saya).
Artinya, gembira atau sedih adalah manusiawi tetapi jangan berlebihan yang membuatnya lupa daratan pada Tuhan.

Wasalam,
Kompleks GPM, 31 Jan. 2024