Gambar FOOTNOTE HISTORIS: BUGINISASI ISLAM ATAU ISLAMISASI BUGIS?

PENGANTAR:
Menjawab sikap kiritis Prof. Dr. Kamaluddin Abu Nawas. Maaf, Jika  jawaban ini  terasa agak panjang. Munkin inilah dimaksud ahli hikmah; "Jika kita ditimpa peristiwa bahagia atau duka selalu ada hikmah di baliknya".  Kebetulan saya hanya di tempat tidur karena sakit, membuat saya banyak waktu membaca dan membaca, termasuk buku AGH. Muhammad As'ad. Bagi saya banyak membaca berarti juga banyak menulis. Bagai seorang perajurit; membaca adalah amunisi untuk menulis, tanpa membaca bisa berarti kekurangan amunisi.

FOOTNOTE HISTORIS:
BUGINISASI ISLAM ATAU
ISLAMISASI BUGIS?
by Ahmad M. Sewang 

Saya termasuk gembira membaca sikap kritis Prof. Dr. Kamaluddin Abu Nawas. Sikap inilah seharunya dimiliki sebuah Universitas yang baik. Saya sadari bahwa maksud pertanyaan itu adalah permintaan penjelasan lebih jauh. Jika saya menulis bahwa AGH. Muhammad As'ad banyak menulis dalam bahasa Bugis, bukan berarti tidak menulis dalam bahasa Arab. Apalagi bila diketahui latar belakangnya bahwa beliau adalah kelahiran Mekkah dan lama belajar di sana. Sama dengan jika saya menulis bahwa ust. Syamsu Ali itu adalah pintar, meminjam teori Quraisy Syihab, bukan berarti tidak ada lagi ust. lain yang pontar. Sebelumnya saya sudah membaca tulisan Dr. Wahyuddin Halim, menurut hasil penelitiannya kurang lebih 30 buah buku dalam berbahasa Arab hasil dari buah tangan beliau, tetapi pengaruhnya dalam bahasa Bugis jauh lebih signifikan dari pada bahasa Arab di kalangan masyarakat. Model tulisan ini saya sengaja setting sedemikian rupa untuk memudahkan pemahaman dan supaya diberi reaksi. Sama dengan Muhammad Abduh sebagail pembaharu Islam ketika menafsirkan QS Fiil, "Terasa bagaikan memukul seekor nyamuk dengan palu godan," menurut Prof. Dr. Nurchalis Madjid itulah cara yang dipakai para pembaharu untuk mempercepat prmahaman dan supaya langsung ada reaksi. Walaupun setelah itu membuat banyak ulama marah. Dengan model tulisan demikian akan terjadi, dalam meminjam teori Rocy Gerung, pertengkaran pikiran.

Sebenarnya, yang berhasil membakukan bahasa Bugis adalah Mr. Mattes, seorang missionaris Belanda pada abad ke-19 dengan berhasiI membuat Kamus Bahasa Bugis dan bahasa Makassar. Menurut Mattes, yang sengaja dikirim sebagai missionaris bahwa aksara Bugis lebih mudah dibakukan karena berbentuk sulapa eppa dari pada aksara Makassar lebih sulit dibakukan karena berbentuk hurup jangan-jangan. Mulai saat itu aksara Bugis pengaruhnya lebih dominan di Sulawesi Selatan. Pada waktu yang sama menyebabkan bahasa Makassar mengalami kemumduran. Pada hal sebelunya bahasa Makassar jauh lebih mendominasi tetapi mengalami kemunduran penggunaannya sebagai akibat kekalahan Makassar dari Aruppalakka pada Perang Makassar pertengahan abad ke-17. Dominasi Bugis semakin bertambah, setelah kedatangan AGH. Muhammad As'ad dari Mekkah pada  tahun 1928. Sejak periode AGH. Muhammad As'ad, menurut saya, beliau berhasil melakukan, "Buginisasi Islam atau islamisasi Bugis." Sebagaimana tema tulisan ini. Ketika saya satu kantor dengan Prof. Dr. Rafii Yunus, MA, mantan Ketua Umum Perguruan Asadiyah, saya barul Lama oleh Tamar Djaja yang menyinggung di dalamnya Anreguruta Saade. Kemudian saya tanyakkan pada almarhum, siapa itu Anrengguratta Sa'ade? Beliau menjawab dengan lantang, tidak lain hanya AGH. Muhammad As'ad seorang ulama yang sangat berpengaruh dalam buginisasi Islam.

Pengaruh AGH. Muhammad As'ad sampai ke daerah Mandar menjadikan bahasa Bugis sebagai bahasa Islam. Dibawa oleh para alumni As'adiah ke Wonomulyo. Membuat orang Mandar belajar Islam dengan memakai bahasa Bugis. Dulu saya belajar mengaji lewat bahasa Bugis, seperti alepu riasena a, alipu ramai i, alepu dapanna u, AIU. Artinya, bahasa Bugis menjadi bahasa kedua atau bahasa Islam, maksudnya, jika ingin mempelajari Alquran atau Islam lebih dahulu harus belajar bahasa Bugis. Demikian pula pengajaran Islam tingkat lanjutan dst., seperti belajar Nahwu Saraf atau kitab kuning lainnya  bahasa Bugis. Tidak heran karena di Sulawesi hanya dua aksara, yaitu: Bugis dan Makassar. Mandar tidak punya aksara, sekalipun telah banyak budayawan Mandar telah mengusahakannya. Mr. Mattes telah berhasil membakukan bahasa Bugis, kemudian diperkuat oleh AGH. Muhammad As'ad. Belum lagi penggunaan Radio As'adiyah telah berhasil melakukan Buginisasi Islam. Sehingga Nabi Ibrahim yang terdapat dalam Alquran dikatakan oleh masyarakat Bugis sebagai Borahima. Nabi Ismail disebut Sumaila dan Yusuf disebut Yusufu karena dalam aksara Bugis tidak mengenal huruf mati. (hasil penelitian penulis di KITLV di Leiden. Dengan judul, fuluktuasi diminasi antara Bugis dan Makassar).

Radio As’adiyah, sebuah organisasi Islam yang didirikan pada tahun 1930 di Sengkang Sulawesi Selatan, memiliki peran penting dalam mensosialisasikan bahasa Bugis. Organisasi ini tidak hanya fokus pada pendidikan dan dakwah Islam, tetapi juga, pengembangan budaya lokal, termasuk bahasa Bugis. Berikut adalah beberapa cara bagaimana Radio As’adiyah berperan dalam mensosialisasikan bahasa Bugis, lewat:

1. Pendidikan Formal:
   - Sekolah-sekolah As’adiyah: Institusi pendidikan di bawah naungan Radio As’adiyah, mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi, menggunakan bahasa Bugis sebagai bahasa pengantar, dalam beberapa mata pelajaran. Ini membantu para siswa Bugis dalam memahami pelajaran dengan lebih baik dan memelihara penggunaan bahasa Bugis di kalangan generasi muda.

2. Pengajaran Agama:
   - Pesantren dan Madrasah: Dalam pengajaran di pesantren dan madrasah, bahasa Bugis sering digunakan untuk menjelaskan konsep-konsep agama Islam. Dengan menggunakan bahasa ibu, ajaran agama menjadi lebih mudah dipahami oleh para santri yang berbahasa Bugis.

3. Kegiatan Dakwah:
   - Ceramah dan Pengajian: Kegiatan dakwah yang diselenggarakan oleh Radio As’adiyah selalu  menggunakan bahasa Bugis. Ini termasuk ceramah, pengajian, dan khutbah Jumat. Penggunaan bahasa lokal membuat pesan-pesan dakwah lebih relevan dan mudah diterima oleh masyarakat.

4. Penerbitan dan Media:
   - Literatur Keagamaan: 
Radio As’adiyah juga terlibat dalam penerbitan buku-buku, risalah, dan materi keagamaan dalam bahasa Bugis. Ini tidak hanya membantu dalam penyebaran ilmu agama tetapi juga melestarikan bahasa Bugis dalam bentuk tulisan.
   - Media Elektronik .
Jika Radio As’adiyah: menggunakan media elektronik seperti radio, program-program dalam bahasa Bugis dapat menjangkau audiens yang lebih luas, memperkuat penggunaan bahasa di kalangan masyarakat.

5. Budaya dan Tradisi:
   - Kegiatan Kebudayaan: Radio As’adiyah mengadakan kegiatan kebudayaan yang menonjolkan seni dan tradisi Bugis, termasuk penggunaan bahasa Bugis dalam drama, puisi, dan musik. Ini membantu menjaga warisan budaya dan bahasa Bugis tetap hidup dan berkembang.

Melalui berbagai inisiatif ini, Radio As’adiyah telah berperan signifikan dalam mensosialisasikan bahasa Bugis. Mereka tidak hanya berfokus pada pendidikan dan dakwah, tetapi juga pada pelestarian dan pengembangan budaya lokal, memastikan bahwa bahasa Bugis tetap relevan dan digunakan oleh generasi-generasi mendatang.

AGH. Muhammad Asad dikenal sebagai salah satu tokoh yang berperan penting dalam memperkenalkan dan mengembangkan penggunaan bahasa Bugis dalam konteks pendidikan dan dakwah Islam di Indonesia.  Beliau menggunakan bahasa Bugis sebagai salah satu sarana untuk menyampaikan ajaran-ajaran Islam, sehingga pesan-pesan agama dapat lebih mudah dipahami oleh masyarakat Bugis yang merupakan salah satu suku terbesar di Sulawesi Selatan. Termasuk di Mandar, ada yang berpendapat bahwa bahasa Arab lebih pas diartikan dalam bahasa Bugis daripada bahasa Indonesia, mungkin karena terbiasa mereka menerjemahkanya ke dalam bahasa Bugis 

Peran AGH. Muhammad Asad dalam memperkenalkan bahasa Bugis meliputi:

1. Pendidikan Islam: 
Sebagai seorang pendidik, AGH. Muhammad Asad menggunakan bahasa Bugis dalam pengajaran di pesantren dan lembaga pendidikan Islam. Ini membantu para santri yang berbahasa ibu Bugis untuk lebih mudah memahami materi pelajaran agama dan ilmu-ilmu lainnya.

2. Karya Tulis: 
Beliau juga terlibat dalam penulisan buku atau risalah keagamaan dalam bahasa Bugis lontara, yang menjadi sumber belajar penting bagi masyarakat Bugis. Karya-karya tersebut tidak hanya memperkaya literatur Islam dalam bahasa lokal, tetapi juga membantu melestarikan bahasa Bugis itu sendiri.

3. Dakwah: 
Dalam aktivitas dakwahnya, AGH. Muhammad Asad menggunakan bahasa Bugis untuk berdakwah, baik melalui ceramah, khutbah, maupun pengajian. Dengan menggunakan bahasa yang lebih dekat dengan masyarakat, pesan-pesan dakwah menjadi lebih efektif dan menyentuh hati para pendengarnya.

4. Budaya dan Tradisi: 
Selain dalam pendidikan dan dakwah, AGH. Muhammad Asad juga berperan dalam mempertahankan dan mengembangkan budaya Bugis, termasuk bahasa dan tradisi lokal, dalam konteks Islam. Hal ini menunjukkan bagaimana Islam dapat berintegrasi dengan budaya lokal tanpa menghilangkan identitas budaya tersebut.

Dengan perannya ini, AGH. Muhammad Asad tidak hanya memperkuat dakwah Islam di kalangan masyarakat Bugis, tetapi juga turut melestarikan dan mengembangkan bahasa dan budaya Bugis di tengah modernisasi dan perubahan zaman. Sayang sekali beliau dipanggil Allah swt., dalam umur reletif pendek, 45 tahun, pada tahun 1952. Orang yang berjasa ini dipanggil oleh kekasihnya yang maha abadi, Allah swt. , kehadirat-Nya dengan meninggalkan banyak murid sebagai pewaris. Boleh dikata hampir semua ulama di Sulawesi Selatan setelah itu juga menggunakan bahasa Bugis sebagai bahasa pengantar. Salah seorang di antaranya yang beken, menulis tafsir Alguran dalam bahasa Bugis seperti AGH. Muhammad Yunus Maratan berjudul; Tafsir Al-Qur’an Al-Karim bi Al-Lughah Al-Buqisiyyah. (Baca tulisan Wahyuddin Halim).

Wasalam,
Kompleks GFM, 17Juni 2024