Gambar FOOTNOTE HISTORIS:


Tertarik membaca "Editorial Madia Indonesia," Edisi Jumat, 26 Juli 2026 dengan Judul seperti di atas.

Karena pentingnya diketahui isinya. Maka hampir semua Isi editor ini dikutip sepenuhnya, kecuali beberapa kalimat yang ditambahkan sebagai penekanan. Untuk itu, saya mohon izin pada Media Indonesia jika mengutip sepenuhnya, sebab biasanya saya mengutip tidak langsung untuk menghindari palagiasi. Sekali lagi saya mohon izin dengan menelepon redakturnya. Agak mudah berkomunikasi karena kebetulan saya langganan koran e-paper Media Indonesia, termasuk e-paper Tempo dan Kompas. Sungguh sangat bergembira bila para netizen mengkritisinya.

Apalah arti sebuah nama? Begitulah yang dikatakan William Shakespeare, seorang pujangga ternama Inggeris yang hidup pada 1564-1616. Ia juga seorang penulis kisah cinta yang melegenda antara Romeo dan Juliet. Menurut Shakespeare, nama bukanlah segalanya. Dia mengatakan, ''Apa yang kita sebut mawar dengan nama lain akan tetap berbau harum (andai kita menyebut mawar dengan nama lain, ia tetap berbau harum)".

Apalah arti sebuah gelar? Begitu kira-kira Fathul Wahid berujar.
Fathul seorang sejarawan. Dia lahir di Jepara, Jawa Tengah, 26 Januari 1974, menjabat Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta periode 2018-2022 dan 2022-2026. Mirip-mirip dengan Shakespeare yang tak mempersoalkan nama, Fathul tidak menyakralkan gelar.

Fathul ialah rektor yang terbilang masih muda, bahkan termuda kedua dalam sejarah UII, dengan sederet gelar. Cukup banyak embel-embel yang melekat pada namanya. Prof Fathul Wahid ST MSc PhD. Itulah titelnya, titel tentu saja didapat dengan cara yang seharusnya. Ijazah sarjana dia dapat dari Teknik Informatika ITB. Lalu, gelar magister dan doktor diraih dari Department of Information Systems University of Agder, Norwegia.

Kalau Fathul bangga dengan gelar-gelar itu, kiranya wajar-wajar saja. Jika Fathul kemudian senang dipamerkan titel-titel itu, rasanya sah-sah pula. Namun, Fathul tidak demikian. Justru sebaliknya, dia hanya memperkenankan gelar lengkapnya ada di dokumen yang dikeluarkan kampus setara ijazah atau transkrip nilai.

Di luar itu, termasuk di dalam surat, dokumen, dan produk hukum kampus lainnya, Fathul meminta seluruh gelar akademik miliknya tak dicantumkan. Dia pun mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomor 2748/Rek/10/SP/VII/2024 yang dialamatkan kepada seluruh pejabat struktural di lingkungan UII pada Kamis (18/7). SE itu hanya untuk dirinya sendiri, tak memaksa buat yang lain.

Di akun Instragram pribadinya, @fathulwahid , Fathul bahkan membuat woro-woro memohon jangan lagi dipanggil 'prof'. “Dengan segala hormat, sebagai upaya desakralisasi jabatan profesor, kepada seluruh sahabat, mulai hari ini mohon jangan memanggil saya dengan sebutan 'prof'”, begitu petikan unggahannya. Panggilan saja: Fathul, Dik Fathul, Kang Fathul, Mas Fathul, atau Pak Fathul. Insya Allah akan lebih menenteramkan dan membahagiakan. Matur nuwun

Fathul bukanlah guru besar pertama yang tak ingin dibesar-besarkan. Sebelumnya ada guru besar yang terhormat, yaitu guru saya sendiri, Bapak Halide.  Lebih sepuluh tahun lewat, saya datang berziarah ke rumahnya, beliau mengisahkan bahwa baru saja diwawancarai wartawan dan beliau berpesan, "Jangan lagi dipasan gelar profesor di depan nama saya," pesan beliau. Alasannya tidak dapat lagi menjalankan tugas universitas: yaitu mengajar, meneliti dan menyebarkan ide-idenya sebagai seorang profesor dan karena sakit sehingga beliau hanya di tempat tidur dan tidak lagi ada pengabdian di masyarakat. Sejak itu atau lebih satu dekade terakhir saya juga ikut tidak lagi memasang gelar di nama saya. Walau pesan itu beliau sampaikan dengan tulus walau untuk pribadi Halide. tetapi tidak untuk orang lain. Saya juga merasa lebih nyaman rasanya jika nama saya kosong dari gelar, lebih lagi saya sudah pensiun. Pada hal gelar yang saya peroleh dengan susah payah, bukan abal-abal, tetapi perjuangan panjang di kampus resmi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang sebelumnya lembaga ini mengharuskan saya melakukan penelitian di Leiden University. Universitas yang bereputasi, di Belanda. Selama setehun penuh membaca manuskrip lama di Belanda di atas bimbingan khusus Dr. van Dijk, peneliti DI/TII. Beliaulah merekomendasi saya meneliti manuskrip lama di Henri Krimer, Pusat Pengkaderan Kristen di Leiden. Soalnya saya mendalami bidang sejarah Islam.
Kita lanjut pada judul tulisan:
Sejak sepuluh tahun terakhir, tidak pernah lagi memasan gelar di nama saya dalam setiap menulis di koran dan media sosial, lalu dari sini dikutip di koran lokal serta saya juga kaget melihatnya dimuat di Google. Pada hal saya menulis hampir setiap hari, kecuali di akhir pekan seperti kantor berita resmi di luar negeri. Gelar resmi saya hanya ditujukan semata-mata untuk keperluan administrasi resmi di kampus, yaitu Prof. Dr. H. Ahmad M. Sewang, M.A.  
Nampaknya banyak orang yang profesor beneran yang juga berpesan yang sama, seperti mendiang Ahmad Syafii Maarif, mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, seorang negarawan, guru bangsa. Kalau semua gelar ditulis, nama lengkapnya adalah Prof KH Ahmad Syafii Maarif MA PhD. Akan tetapi, dia lebih nyaman, lebih tenteram, dan lebih bahagia, disapa 'Buya'.

Contoh lain adalah Ariel Heryanto. Sosiolog kelahiran Malang, Jawa Timur, 1954, yang pernah menjadi guru besar di Sekolah Kebudayaan, Sejarah, dan Bahasa The Australian National University itu juga tidak besar kepala. Dia enggan, dan risih, dipanggil 'prof'. Dia maunya disapa tanpa embel-embel gelar seperti yang dialaminya ketika di Australia.

Lebih nyaman, lebih menenteramkan, lebih membahagiakan tanpa panggilan 'prof'? Ah, kiranya hanya guru besar yang memang berotak besar yang punya jiwa sebesar itu.

Guru besar atau profesor, identik dengan seseorang yang memiliki keahlian dan kepakaran dalam bidang atau ilmu tertentu. Di Indonesia, Profesor merujuk pada jabatan fungsional tertinggi bagi dosen yang masih mengajar di lingkungan satuan pendidikan tinggi.

Menjadi profesor bukanlah hal yang mudah. Berbagai macam persyaratan harus ditunaikan, banyak kemestian harus dipenuhi. Ia, misalnya, wajib berijazah doktor. Untuk dosen yang ingin menjadi profesor, dia harus mengajar minimal 10 tahun. Belum lagi persyaratan-persyaratan ketat lainnya semisal punya publikasi karya ilmiah di jurnal internasional bereputasi. Bukan jurnal abal-abal.

Dengan persyaratan yang begitu berat, lumrah jika seorang profesor bangga dengan keprofesorannya. Titel itu punya nilai tinggi, sangat megah, bahkan dianggap sakral. Tak heran pula jika ia menjadi incaran banyak orang. Tak cuma pelajar, tak sedikit pula pejabat atau politikus yang ngebet dipanggil 'prof'. Tetapi bukan kesalahan sepenuhnya jika banyak politisi yang memakai gelar profesor juga petinggi universitas yang ikut menghamble gelar profesor itu. Sehingga jika dahulu kita menyaksikan Doktor honoris causa  sekarang profesor pun sudah banyak honoris causa, bahkan ada polotisi memiliki dua profesor honoris causanya.

Banyak motif yang melatari kenapa seseorang ingin menjadi profesor. Bagi para pemain politik, status guru besar dapat memperkuat legitimasi politik, sosial, dan moral. Bagi yang mengejar pendapatan, gelar profesor salah satu jalan keluar. Maklum saja, gaji dan tunjangan buat guru besar bisa jauh lebih besar daripada dosen biasa. Motif itu tentu saja tidak berlaku bagi pejabat dan politikus. Bagi mereka, sebesar apa pun penghasilan guru besar bisa jadi hanyalah pendapatan.

Gelar profesor juga terkait dengan prestise. Bagi para pemburu kehormatan, pendamba status sosial, ingin dipandang sebagai orang pintar, orang hebat, menjadi guru besar salah satu jalan terbaik.

Celakanya, tidak semua orang menjadi guru besar dengan cara yang benar. Mereka yang menyandan gelar tak segan diraih secara ugal-ugalan, tidak peduli etika, masa bodoh dengan moral. Oleh karena itu, lahirlah istilah profesor gadungan, profesor penghamba kekuasaan, profesor provokator, atau meminjam istilah Rocky Gerung, guru besar tetapi otaknya kecil.

Terobosan Fathul kiranya bisa menjadi gerakan desakralisasi, defeodalisasi, dan debirokratisasi di kampus. Seperti yang dia tekankan, profesor adalah tanggung jawab, amanah akademik, bukan status sosial yang kemudian diglorifikasi dan dikejar setengah mati. Salut 'Prof Fathul'...eh, 'Pak Fathul'. Kalau yang profesor benaran saja tidak mau dipanggil 'prof', masak kita harus memanggil profesor asal-asalan dengan sapaan itu?

Wasalam,
Kompleks GFM, 3 Agust. 2024