Waktu baru selesai studi, tepatnya, tahun 1997, saya melihat kenyataan bahwa job tempa saya bertugas di Fakultas Syariah sudah terbagi habis. Daripada setiap hari masuk kantor yang terkesan mencari-cari jabatan, lebih baik keluar melamar kerjaan. Alhamdulillah saya diterima sebagai Direktur PKU (Pendidikan Kader Ulama) di MUI Sulawesi Selatan.
Mulailah saya menyusun kurikulum PKU yang berbeda dengan sebelumnya. Hari Sabtu sengaja dikosongkan perkuliahan reguler. Diisi kuliah Umum dengan mengundang para ahli di bidang ilmu pengetahuan tertentu untuk memberi wawasan pada para santri. Kami juga berlangganan dengan beberapa koran Jakarta agar santri di samping menguasai kitab kuning juga ahli dalam kitab putih (pengetahuan umum). Ala kulli hal, "Tujuan yang saya ingin capai adalah santri yang menguasal ilmu agama dan memiliki wawasan luas, sehingga luwes dalam suasana dikehidupan yang semakin modern."
Salah seorang ahli yang diundang sebagai nara sumber adalah Husni Djamaluddin (Seorang sastrawan yang juga dikenal dengan gelar Panglima Puisi). Karena juga bertindak sebagai moderator, saya perkenalkan beliau sebagai Haji (H) Husni Djamaluddin. Ternyata almarhum memprotesnya dengan mengatakan, "Jangan panggil saya haji (H.) sebab itu tidak Adil", yang adil jika saya dipanggil dengan seluruh rukun Islam: SSPZH, kepanjangan dari Syahadat, Shalat, Puasa, Zakat, dan Haji., sebab semua rukun Islam saya amalkan dalam hidup.
Setelah saya renungkan menurut pandangan logis, pedapat almarhum itu adalah benar 100%. Itu sebabnya di Arab Saudi tidak ada orang yang bergelar H. Memakai simbol H hanya orang yang berasal dari Asia Tenggara. Sebagai sejarawan saya memulai penelitian singkat, "Kapan simbol haji pertama kali digunakan dalam sejarah". Ternyata, dilihat dari segi sejarah bahwa di antara ibadah dalam rukun Islam yang paling terberat pelaksanaannya, baik pisik atau pun psyihis adalah ibadah haji. Tempat pelaksanaannya jauh pula. Jika ditelusuri lebih jauh ke belakang lagi, maka "Semakin jauh ke belakang semakin sulit rasanya pelaksanaannya." Di abad ke 18 orang berhaji lebih dahulu melelang semua aset kekayaannya bahkan jika ingin naik haji, maka naik perahu lebih dahulu ke Singapura, di sana ia bertani lebih dahulu dengan membuang beberapa waktu mengumpulkan ONH untuk mencukupi bekal. Begitulah yang saya baca dalam Perbendaharaan Lama. Di Singapura terkadang mereka mendapat musibah berupa perampokan yang bisa kehabisan semua bekal, sehingga dahulu ada yang bergelar Haji Singapura, mereka tidak sampai di Mekah karena ONH-nya sudah ludes, lalu pulang kembali ke kampung. Kenapa mereka ke Singapura lebih dahulu? Karena di sana mereka menunggu kapal api dari Inggeris, untuk mengangkut mereka ke Mekah. Karena lamanya naik Haji terkadang mereka menggunakan kesempatan sebagai Mustami' atau jadi santri sementara di Mekah atau di Madinah. Tidak heran jika mereka pulang rata-rata punya pengetahuan agama yang memadai dibanding penduduk se kampungnya. Ada yang selalu perlu diingat bahwa naik haji tempo dulu, rata-rata mereka lebih banyak yang wafat dalam perjalanan daripada yang kembali ke tanah air. Tidak heran, jika mereka ada yang menganggap dirinya sudah wafat. Karena itu, di antara mereka ada yang menjual habis semua harta bendanya di kampung sebelum berangkat menunaikan rukun Islam yang ke lima ini.
Karena Haji merupakan rukun Haji terberat, maka itu sebabnya, jemaah yang terseleksi selamat pulang kembali ke tanah air, mereka sangat dihormati dalam kehidupan sosial, jika terjadi kenduri di masyarakat, mereka selalu ditempatkan di area terhormat atau paling terdepan. Di sini pula asal mula mereka di panggil Haji sebagai penhormatan. Pertanyaannya, apa sekarang panggilan haji itu masih relevan? Sekarang naik haji dengan plane yang memerlukan waktu hanya mengambil waktu sekitar enam jam. Tiba di sana tinggal di sebuah hotel mewah. Bagi yang sakit dan tidak bisa jalan, disiapkan roda. Pada abad ke 18 orang masih jalan kaki atau naik unta dari Jeddah ke Mekah. Bandingkan saat ini orang naik transformasi bus pula ac bahkan naik kereta Api dari Mekah ke Madinah. Sekarang perjalanan menunaikan ibadah haji tambah mudah dan lebih comport. Tidak salah jika banyak orang bertanya, "Masih pantaskah orang yang selesai menunaikan ibadah haji, diberi gelar haji? Haji adalah ibadah sebagai salah satu rukun Islam. Ibadah jika dipamerkan justru bisa dihinggapi penyakit "RIA'", yang bisa menyebabkan semua amal-ibadahnya sia-sia tak bermakna. Dalam QS al Baqarah 216, dikatakan: حبطت اعمالهم في الدنيا والاخرة (Sia-sialah amal-amal mereka di duniya dan akhirat). Sejak itu, tepatnya tahun 1997, tidak pernah lagi memasang gelar haji di depan nama saya. Jika ada yang terpasang, orang lain saja yang menulisnya sebagai basa-basi penghormatan. Sedang saya sendiri takut ancaman Tuhan, yang bisa menyebabkan sia-sia amalan haji saya. Sebab jika dipanggil haji, boleh saja membuat orang yang bergelar haji itu ria, akibatnya semua amal ibadahnya sia-sia. Sedang menurut ulama bersedekah saja dangan tangan kanan, maka tangan kiri tidak perlu tahu pemberian itu. Tulisan ini adalah lanjutan tulisan yang dimuat dalam Editor di Media Indonesia beberapa waktu lalu, berjudul; "Jangan saya dipanggil Profesor", sebagai protes senyap pada para politisi yang menyalahgunakan gelar itu bahkan ada di antara politisi dengan penuh kebanggaan berkilah; saya dapat gelar doktor honoris causa sudah 10 kali. Sedang "Dua kali saya mendapatkan gelar profesor honaris causa," katanya bangga. Menurut pandangan sebagian orang bahwa penyalahgunaan gelar profesor itu sekarang sehingga tak punya muruah lagi.
Sebelum berpisah, saya tak lupa mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Barsihannor, Dekan Fakultas Adab UIN Alauddin Makassar, beliau telah ikut menyempurnakan ayat al-Qur'an yang saya kutip di atas. Wasalam, Kompleks GFM, 24 Agustus 2024