Start typing & press "Enter" or "ESC" to close
Indonesian
English
العربية
Home
Profil
Pimpinan UIN
Sejarah UIN
Lambang
Visi Misi & Tujuan
Struktur Organisasi
Quality Assurance
Kerjasama Kemitraan
Dasar Hukum Pengelolaan
Pedoman dan Panduan Pengelolaan
Fakultas
Syariah & Hukum
Ekonomi & Bisnis Islam
Tarbiyah & Keguruan
Ushuluddin & Filsafat
Dakwah & Komunikasi
Adab & Humaniora
Sains & Teknologi
Kedokteran & Ilmu Kesehatan
Program Pascasarjana
Lembaga
LEMBAGA
Penjaminan Mutu
Penelitian & Pengabdian Masyarakat
UPT
Pusat Teknologi Informasi dan Pangkalan Data
Perpustakaan
Pusat Bahasa
PUSAT
Pusat Studi Gender dan Anak
Pusat Pengembangan Bisnis
Satuan Pengawas Internal (SPI)
International Office (IO)
Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID)
Biro
Biro AUPK
Keuangan
Kepegawaian
Perencanaan
Umum
Biro AAKK
Akademik
Kemahasiswaan
Kerjasama
Sistem Informasi
Portal Mahasiswa Dan Dosen
Portal Alumni Dan Karir
Portal Kepegawaian/SDM
E-Kinerja
Kuliah Kerja Nyata
SOP
KIP
Capaian Indikator Kinerja Utama (IKU)
Rumah Jurnal
Repository
Ebook
OPAC
Sistem Pengecekan Ijazah dan Transkrip
Registrasi Mahasiswa Baru
Pustipad Helpdesk
UKT Covid
Ujian Masuk Mandiri
Monev Perkuliahan Daring
Tracer Study
Sister
Kuliah di UIN
Penerimaan Mahasiswa Baru
Unit Kegiatan Mahasiswa
Kartu Indonesia Pintar (KIP)
Agenda
Change Languange
English
العربية
FOOTNOTE HISTORI: SEJARAH PUASA (2)
26 Mei 2023
by Ahmad M. Sewang
Setiap ibadah mengandung dua hal, yaitu ada persyartan yang bersifat formal yaitu menahan diri dari makan dan minum mulai dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari.
Selain itu ada persyaratan yang bersifat substansi, yaitu menahan diri dari segala bentuk perbuatan dosa, seperti berkata jelek, menghina, memfitnah, mengutuk, berbohong, dan bertengkar. Puasa dalam pengertian terakhir ini disebut dalam ilmu tasawuf hakikat puasa. Puasa formal harus diiringi substansi puasa, tanpa substansi puasa inilah yang disebutkan dalam hadis,
قَالَ مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ بِأَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ؛ حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ *
و قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَمْ مِنْ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلَّا الْجُوعُ وَكَمْ مِنْ قَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ قِيَامِهِ إِلَّا السَّهَرُ *
Ramadan bulan momentum, momentum Berbuat baik: Tidak heran banyak orang memanfaatkan momentum itu dengan banyak beribadah, seperti:
1. Melaksanakan salat sunah: a) Tarawih, tidak ada salat tarawih kecuali di bulan Ramadan, b) mendaras al-Quran: tetapi jangan sekedar dibaca, tetapi juga diketahui maknanya dan terakhir, diamalkan dalam kehidupan. Dalam hadis:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا لَا أَقُولُ الم حَرْفٌ وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلَامٌ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْفٌ * المصدر: سنن الترمذي؛ الكتاب: فضائل القرآن
2. Sadakah/Zakat: Zakat itu tergantung dari haul dan nisab, tetapi kenapa bulan Ramadan. Untuk mendapatkan dua kebaikan sekaligus: 1) Memudahkan mengingat haul, 2) Ramadan banyak pahala yang berlipat. Argemennya:
1. Masalah hilal adalah masalah furuiyah khilafiyah. Dalam pandangan IMMIM: masalah furuiyah khilafiyah sedang masalah furuiyah dan khilafiyah harus disikapi dengan toleransi.
2. Tetapi masalah khilafiyah tentang awal puasa dan lebaran berbeda dengan furuiyah khilafiyah dalam kunut dan rakaat tarawi. Kunut dan tarawih jika berbeda hanya berdampak sosial ke dalam umat dan itu pun dianggap sudah selesai. Berbeda dengan awal puasa dan lebaran akan berdampak pada sosial eksteren umat Islam. Masyarakat awan dan orang luar yang tidak tahu masalah khilafiyah mereka memandang ada perpecahan dalam intern umat Islam.
3. Insya Allah sampai tahun 2022, persamaan waktu puasa akan tetap sama dan sementara kementerian agama akan mencari titik temu agar terjadi kesepakatan semua organisasi Islam yang akan memudahkan membuat kalender Islam yang sama.
Wasalam,
Kompleks GPM, 20 Maret 2023 M/ 27 Syaban 1444 H