Gambar ”FENOMENA SKINCARE: Perspektif Sejarah dan Fiqhi Kontemporer”

 

Istilah  "skincare" secara bahasa berasal dari dua kata bahasa Inggris, yaitu "skin" yang berarti "kulit" dan "care" yang berarti "perawatan." Secara harfiah, "skincare" berarti "perawatan kulit." 

Dalam istilah yang lebih teknis, "skincare" merujuk pada serangkaian praktik dan produk yang digunakan untuk menjaga kebersihan, kesehatan, kelembapan, dan penampilan kulit agar tetap sehat dan terawat.

Sejarah penggunaan produk skincare dapat ditelusuri kembali ke zaman kuno, di mana berbagai budaya di dunia memiliki praktik dan bahan tradisional untuk merawat kulit. Misalnya:

1. Mesir Kuno: Orang Mesir kuno menggunakan minyak alami, susu, madu, dan herbal untuk menjaga kelembapan kulit mereka dan mengurangi kerutan. Ratu Cleopatra diyakini menggunakan masker lumpur dari Laut Mati dan mandi dengan susu untuk menjaga kulitnya tetap halus.

2. Yunani Kuno dan Romawi: Di Yunani, minyak zaitun banyak digunakan untuk menjaga kulit tetap lembap dan melindunginya dari paparan matahari. Di Romawi, perawatan kulit melibatkan pembersihan dengan minyak dan menggosok kulit menggunakan campuran pasir atau garam sebagai exfoliator alami.

3. Tiongkok dan Jepang: Di Asia Timur, praktik perawatan kulit dengan bahan herbal sudah diterapkan sejak ribuan tahun lalu. Di Tiongkok, tanaman seperti teh hijau dan ginseng digunakan untuk menjaga kulit tetap cerah dan sehat. Di Jepang, wanita menggunakan beras dan produk berbasis camellia oil untuk merawat kulit mereka.

Istilah “skincare” sebagai terminologi modern dalam industri kosmetik sebenarnya baru mulai populer pada abad ke-20. Perusahaan kosmetik besar seperti Nivea (didirikan pada tahun 1911) dan Estée Lauder (didirikan pada 1946) adalah beberapa pelopor yang memperkenalkan istilah ini dalam produk perawatan kulit komersial.

Skincare mulai berkembang pesat pada abad ke-20 karena kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang memungkinkan penelitian lebih dalam mengenai kulit, berbagai kebutuhan kulit, dan bahan-bahan kimia yang bisa meningkatkan efektivitas produk perawatan.

1. Konsep Perawatan Diri Dalam Islam

Merawat tubuh adalah amanah yang Allah berikan kepada manusia. Tubuh harus dijaga dan dirawat sebagai bentuk syukur atas nikmat kesehatan. 

Perawatan diri yang meliputi kesehatan dan kebersihan kulit merupakan salah satu bentuk menjaga amanah tersebut.
Allah berfirman dalam Surah Al-Baqarah ayat 195:

وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ 

“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan." (QS. Al-Baqarah: 195)

Ayat ini melarang umat Islam untuk menelantarkan diri, termasuk dalam aspek kesehatan. 

Penggunaan skincare yang bertujuan menjaga kesehatan kulit sejalan dengan konsep menjaga amanah ini.

Rasulullah SAW bersabda dalam salah satu hasits :

إِنَّ لِبَدَنِكَ عَلَيْكَ حَقًّا 

“Sesungguhnya badanmu memiliki hak atasmu." (HR. Bukhari)


Hadits ini menunjukkan bahwa tubuh adalah amanah yang harus dijaga. Dengan menjaga kesehatan kulit melalui perawatan yang halal, Muslim memenuhi salah satu hak tubuhnya.

Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumuddin menekankan bahwa menjaga kesehatan tubuh adalah bentuk ibadah, karena dengan tubuh yang sehat seorang Muslim dapat lebih mampu menjalankan ketaatan kepada Allah. Maka, perawatan diri, termasuk penggunaan skincare yang tidak melanggar syariat, dianggap sebagai bentuk memenuhi kewajiban tersebut.

2. Pandangan Islam tentang Kebolehan Mempercantik Diri

Islam mengajarkan pentingnya menjaga kebersihan dan penampilan yang baik, namun dalam batasan yang wajar dan tidak berlebihan. 

Skincare yang digunakan untuk menjaga kesehatan dan estetika diperbolehkan, selama tidak melampaui batas syariat.

Allah SWT. berfirman dalam al-Quran ,Surah Al-A’raf ayat 31:

يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِندَ كُلِّ مَسْجِدٍ 

“Hai anak Adam, pakailah perhiasanmu setiap kali memasuki masjid." (QS. Al-A'raf: 31)

Ayat ini menunjukkan anjuran menjaga kebersihan dan keindahan terutama saat beribadah. 

Merawat kulit agar sehat dan bersih adalah bagian dari usaha menampilkan diri dengan baik di hadapan Allah dan manusia.

Rasulullah SAW bersabda dalam sebuah hasits :

إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ 

“Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan." (HR. Muslim)

Hadits ini menyiratkan bahwa Allah SWT mencintai keindahan dan penampilan yang terjaga selama tidak melanggar batasan syariat. 

Oleh karena itu, penggunaan skincare dalam rangka menjaga penampilan dan kesehatan kulit termasuk dalam hal yang dianjurkan, asalkan tidak mengandung unsur berlebihan atau riya.

Imam Nawawi menekankan bahwa tindakan memperhatikan penampilan adalah tindakan yang sesuai dengan fitrah manusia. Dalam hal ini, skincare yang halal dan digunakan dengan niat menjaga kesehatan dapat diterima dalam Islam.

3. Perspektif Fiqih tentang Penggunaan Skincare

Dalam fiqih kontemporer, penggunaan skincare dipandang berdasarkan beberapa prinsip:

1. Bahan yang Halal; Skincare yang digunakan tidak boleh mengandung bahan-bahan yang haram atau najis, seperti gelatin dari hewan yang tidak disembelih sesuai syariat atau alkohol yang memabukkan.

2. Tujuan yang Baik; Skincare digunakan untuk menjaga kesehatan kulit, bukan untuk tujuan berlebihan atau pamer.
Dasar dalam Kaedah fiqih yang berlaku slaam hal ini :

الْأَصْلُ فِي الْأَشْيَاءِ الْإِبَاحَةُ مَا لَمْ يَرِدْ دَلِيلٌ عَلَى تَحْرِيمِهَا 

“Asal dari segala sesuatu adalah mubah (diperbolehkan) kecuali ada dalil yang melarangnya."

Prinsip ini mengindikasikan bahwa selama skincare tersebut tidak mengandung unsur haram, penggunaannya diperbolehkan.

Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan bahwa menjaga diri dan mempercantik diri dengan cara yang wajar serta tidak mengubah ciptaan Allah (misalnya, tidak melakukan tato atau operasi kecantikan yang bersifat mengubah permanen) adalah tindakan yang diizinkan dalam Islam.


4. Pandangan Sahabat tentang Perawatan Diri

Para sahabat juga dikenal memperhatikan kebersihan dan penampilan. Perawatan menggunakan bahan alami seperti minyak dapat dianalogikan dengan penggunaan skincare saat ini.

Rasulullah SAW bersabda dalam sebuah hasits :
اِدْهَنُوا بِالزَّيْتِ وَادَّاهُنُوا بِهِ فَإِنَّهُ مِنْ شَجَرَةٍ مُبَارَكَةٍ 

“Gunakanlah minyak zaitun dan pakaikanlah pada tubuhmu karena ia berasal dari pohon yang diberkahi." (HR. Tirmidzi)

Nabi menganjurkan penggunaan minyak alami, seperti minyak zaitun, untuk perawatan tubuh. Hal ini menunjukkan pentingnya perawatan kulit dalam Islam, terutama dengan bahan-bahan alami yang dianjurkan oleh Nabi.

Pandangan Ulama Kontemporer: Dr. Yusuf Al-Qaradawi menyatakan bahwa perawatan tubuh sejalan dengan prinsip menjaga kebersihan dan penampilan dalam Islam, selama tidak mengandung unsur berlebihan dan riya.

5. Batasan dalam Penggunaan Skincare

Dalam penggunaannya, skincare juga memiliki batasan syariat:

1. Tidak Berlebihan:Berlebihan dalam penggunaan skincare hingga menimbulkan ketergantungan atau pemborosan waktu dan biaya tidak dianjurkan dalam Islam.
Allah SWT. berfirman didalam al-qur’an:

وَلَا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ 

“Dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan." (QS. Al-A'raf: 31)

Ayat ini memperingatkan umat Islam agar tidak berlebihan, termasuk dalam penggunaan skincare yang dapat menyebabkan pemborosan.

2. Tidak Mengubah Ciptaan Allah: Penggunaan skincare yang mengubah ciptaan Allah secara permanen, seperti tato atau operasi plastik kosmetik (non-medis) dilarang dalam Islam.
Allah berfirman dalam Surah An-Nisa' ayat 119:

وَلَآمُرَنَّهُمْ فَلَيُغَيِّرُنَّ خَلْقَ اللَّهِ 

“….dan sungguh akan aku (syaitan) suruh mereka (manusia) mengubah ciptaan Allah." (QS. An-Nisa': 119)

Mengubah ciptaan Allah secara permanen termasuk dalam larangan, sehingga skincare yang mengubah struktur kulit atau tubuh secara ekstrem harus dihindari.

Para ulama bersepakat bahwa mengubah ciptaan Allah, seperti tato atau operasi kosmetik yang ekstrem, adalah haram. Namun, perawatan yang sifatnya sementara dan tidak mengubah ciptaan Allah secara permanen diperbolehkan.

6. Fenomena Skincare Berbahan Membahayakan

Fenomena penggunaan bahan berbahaya dalam produk skincare, termasuk pemalsuan produk yang beredar di pasaran, menjadi isu yang sangat serius di berbagai negara, termasuk Indonesia. 

Maraknya produk skincare palsu atau mengandung bahan kimia berbahaya ini menimbulkan kekhawatiran besar, baik dari segi kesehatan konsumen maupun dari perspektif hukum. 

Produk-produk ini sering kali menjanjikan hasil instan seperti pemutihan kulit atau menghilangkan masalah kulit dalam waktu singkat, namun dampak jangka panjangnya justru dapat merusak kulit secara permanen dan membahayakan kesehatan.

Dalam Islam, setiap transaksi harus memenuhi prinsip kejujuran (ṣidq) dan menghindari segala bentuk penipuan (taghrīr) atau kerusakan (mafsadah). Produk yang dibuat dengan bahan yang berbahaya atau tidak sesuai dengan label adalah bentuk dari gharar (ketidakpastian) dan taghrīr (penipuan), yang sangat dilarang dalam syariat.Allah SWT berfirman:

وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ 
“Dan (Nabi) menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan segala yang buruk..."
(QS. Al-A'raf: 157)

Ayat ini mengisyaratkan bahwa umat Islam hanya diperbolehkan untuk menggunakan hal-hal yang bermanfaat dan baik (ṭayyibāt) dan menghindari segala yang membahayakan atau buruk (khaba'ith), baik dalam aspek konsumsi maupun penggunaan produk perawatan diri.

Nabi Muhammad SAW bersabda dalam sebuah hasits:

مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنِّي 
“Barangsiapa yang menipu, maka ia bukan bagian dari golonganku."
(HR. Muslim)

Dalam konteks skincare, produsen yang membuat produk dengan bahan berbahaya dan mengedarkannya tanpa informasi yang jujur kepada konsumen telah melakukan penipuan, yang termasuk dalam larangan dalam Islam.

7. Bahan Berbahaya dalam Produk Skincare dan Dampaknya

Produk skincare palsu atau yang mengandung bahan berbahaya seperti merkuri, hidrokinon, atau steroid sering kali memberikan efek memutihkan atau menghilangkan jerawat secara cepat. Namun, bahan-bahan ini jika digunakan dalam jangka panjang bisa menyebabkan iritasi parah, peradangan, kerusakan jaringan kulit, bahkan meningkatkan risiko kanker kulit. Tidak hanya itu, kandungan merkuri misalnya, dapat mengganggu sistem saraf dan merusak organ tubuh lainnya jika terakumulasi.
Kaedah dalam Islam menyatakan:
لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ "Tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun orang lain."
(HR. Ibn Majah)

Prinsip ini mengandung arti bahwa setiap tindakan yang menimbulkan kerusakan atau bahaya baik bagi diri sendiri maupun orang lain harus dijauhi, termasuk dalam penggunaan dan produksi skincare.

8. Hukum dalam Islam terhadap Produsen yang Menyalahgunakan Bahan Berbahaya

Dalam syariat Islam, setiap bentuk perdagangan atau produksi barang yang merugikan orang lain dianggap zalim dan dilarang. Ulama kontemporer menekankan bahwa produsen dan penjual produk kosmetik atau skincare yang sengaja mencampurkan bahan berbahaya harus bertanggung jawab penuh atas kerugian yang ditimbulkan.

Pandangan Ulama Kontemporer: Menurut Syekh Wahbah Az-Zuhaili dalam al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, barang yang mengandung bahaya harus dilarang dalam perdagangan. Produsen yang memalsukan dan menyalahgunakan kandungan skincare berbahaya bukan hanya merugikan kesehatan orang lain, tetapi juga menodai etika bisnis dalam Islam.

Sanksi Hukum: Dalam konteks hukum nasional, banyak negara telah memberlakukan undang-undang ketat terhadap produk yang mengandung bahan berbahaya atau tidak sesuai standar. Di Indonesia, misalnya, BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan) memiliki kewenangan untuk menarik produk yang tidak sesuai standar dan memberikan sanksi pidana kepada produsen dan penjual yang melanggar peraturan. Undang-undang Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999 di Indonesia juga memberikan hak bagi konsumen untuk mendapatkan produk yang aman dan sesuai dengan informasi yang diberikan.

9. Solusi Islami dan Peran Edukasi bagi Masyarakat

Dari perspektif Islam, penting bagi konsumen untuk bijak dalam memilih produk skincare dan memahami bahan-bahan yang terkandung di dalamnya. Ulama dan lembaga Islam dapat berperan aktif memberikan edukasi mengenai kosmetik halal dan aman, serta mendorong produsen untuk mematuhi prinsip syariah dalam produksinya.

10. Solusi yang dapat diambil:

1. Memastikan Produk Halal: Konsumen diimbau untuk mencari produk dengan label halal dan memastikan izin dari otoritas terkait seperti BPOM.

2. Edukasi dan Kesadaran: Kampanye mengenai bahaya bahan beracun dalam skincare perlu ditingkatkan, baik melalui sosialisasi dari pemerintah maupun lembaga Islam.

3. Sanksi Tegas bagi Produsen yang Melanggar: Dalam Islam, pelanggaran terhadap kesehatan publik harus dikenai hukuman yang setimpal sesuai dengan kerusakan yang ditimbulkan.

KESIMPULAN

Berdasarkan pandangan fiqih dan kajian syariat, penggunaan skincare yang bertujuan menjaga kesehatan kulit, dengan bahan-bahan yang halal, niat yang benar, dan tidak berlebihan, adalah mubah (diperbolehkan). Islam menganjurkan menjaga kesehatan dan penampilan, tetapi mengingatkan agar tidak melanggar batasan syariat.

Islam mendorong umatnya untuk menjaga penampilan dengan cara-cara yang sesuai syariat sebagai bagian dari menjaga amanah tubuh. Skincare yang memenuhi syarat halal, dilakukan dengan niat menjaga kesehatan, serta digunakan dengan moderasi, adalah bagian dari akhlak Islami yang memelihara jasmani sebagai amanah Allah.

Pemalsuan dan penggunaan bahan berbahaya dalam produk skincare tidak hanya merusak kesehatan tetapi juga bertentangan dengan prinsip syariah yang menuntut kejujuran dan mencegah bahaya (mafsadah). Oleh karena itu, peran pemerintah, otoritas kesehatan, dan lembaga Islam dalam mengawasi serta memberikan sanksi terhadap pelanggaran ini sangat penting untuk melindungi konsumen. Edukasi terhadap masyarakat dan penegakan hukum yang tegas dapat menjadi solusi efektif untuk mengatasi masalah ini.

Dengan mengedepankan nilai-nilai Islami dalam bisnis dan memperhatikan keselamatan konsumen, fenomena skincare berbahaya ini diharapkan dapat diminimalkan, sehingga umat Islam dapat menggunakan produk yang aman dan sesuai syariah.