Apakah ibadah suci selalu berbanding lurus dengan kesucian praktik pengelolaannya?


Adakah yang lebih memilukan daripada menyaksikan ibadah paling sakral dalam Islam diseret ke meja dagang, dinilai seperti tiket promo, dan ditawarkan sebagai jalan pintas menuju status sosial?


Bagaimana mungkin perjalanan ruhani menuju Baitullah berubah menjadi komoditas diskon yang menjanjikan “tanpa antre, lebih cepat, lebih murah”, padahal sering berakhir dengan air mata jamaah yang terlantar di negeri suci?


Pertanyaan-pertanyaan itu menggugah nurani setiap Muslim yang masih percaya bahwa ibadah bukan sekadar formalitas, tetapi jalan untuk mendekati Allah. 


Betapa getir ketika harapan suci untuk memenuhi panggilan Ilahi berubah menjadi jerat manis penipuan, permainan sistem, dan celah hukum.


Pertanyaan diatas mengemuka ketika berbagai kasus travel “haji murah”, haji tanpa antre, serta praktik manipulasi visa umrah yang sering disebut haji backpacker kembali mencuat ke publik. 


Perjalanan ibadah yang semestinya mengangkat derajat spiritual, kini sebagian diperdagangkan layaknya tiket diskon.


Di tengah panjangnya antrean haji reguler yang mencapai belasan tahun, muncul tawaran jalan pintas yang menggoda: lebih cepat, lebih murah, tanpa proses panjang. 


Namun, di balik brosur yang menenangkan dan janji manis, tersimpan realitas pahit dengan jamaah terlantar, dana ambruk, dan negara tercoreng.


Rasulullah SAW. telah memberi peringatan tegas:

مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنَّا

“Siapa yang menipu kami, maka ia bukan bagian dari kami.”

(HR. Muslim)


Namun nyatanya, ada pihak yang tidak lagi memandang ibadah sebagai amanah, tetapi peluang bisnis, bahkan kesempatan eksploitasi.


Tidak dapat dipungkiri, fenomena ini lahir bukan hanya karena pelaku usaha culas, tetapi juga karena tekanan sosial, ekonomi, dan psikologis umat. 


Panjangnya masa tunggu membuat sebagian calon jamaah mencari alternatif.  Sementara kerinduan untuk menyaksikan Ka'bah lebih kuat dari pertimbangan administratif.


Tetapi pilihan emosional ini kerap dimanfaatkan. Jamaah diposisikan sebagai pasar yang siap ditawarkan “solusi instan”, tanpa transparansi regulasi, tanpa perlindungan hukum. 


Inilah yang memunculkan tragedi jamaah terlunta-lunta di Arab Saudi, sebuah ironi antara niat suci dan realitas buruk.


Allah mengingatkan dalam Al-Qur’an:

وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ

“Janganlah kalian memakan harta sesama kalian dengan cara batil.”

(QS. Al-Baqarah: 188)


Ketika ibadah diperdagangkan melalui jalan curang, maka yang runtuh bukan hanya uang jamaah, tetapi juga kehormatan ibadah itu sendiri.


Fenomena haji murah tidak hanya merugikan individu, tetapi juga negara. Sistem haji Indonesia dirancang melalui pengelolaan dana masyarakat, regulasi perjalanan, dan hubungan diplomatik dengan Arab Saudi. Ketika travel ilegal memotong jalur resmi, dampaknya luas, diantaranya:


 1. Negara kehilangan kendali 

     terhadap dana umat.

2. BPKH kehilangan potensi kelola nilai manfaat


3. Hubungan bilateral dan kuota haji terancam


4. Reputasi diplomatik Indonesia dipertaruhkan


5. Keamanan jamaah tidak terjamin


Praktik illegal visa dan mafia haji bukan hanya pelanggaran hukum, tetapi pelanggaran moral dan ancaman kedaulatan negara.

Allah memerintahkan:

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا

“Allah memerintahkan kalian menunaikan amanah kepada yang berhak.”

(QS. An-Nisa: 58)


Amanah publik harus ditegakkan. Negara wajib hadir sebelum terjadi korban, bukan setelah tragedi menjadi berita.


Mencari keuntungan tidaklah salah. Negara pun membuka ruang bagi travel resmi yang memenuhi standar. 


Namun kriminalisasi ibadah melalui manipulasi visa dan penipuan jamaah adalah tindakan yang mencederai martabat spiritual dan hukum.


Jangan sampai ibadah menjadi transaksi tak suci. Jangan sampai talbiyah terdengar bersamaan dengan tangis jamaah yang kehilangan arah di negeri orang. Sikap tegas Umar bin Khattab patut direnungkan dalam konteks ini :

حاسِبُوا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُوا

“Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab.”


Masyarakat pun perlu bertanya, apakah kita mencari rida Allah, atau sekadar jalan pintas menuju gelar sosial?


Pemerintah dalam hal ini telah berupaya memperkuat tata kelola haji. Namun celah masih ada, termasuk lemahnya literasi masyarakat, minimnya pengawasan digital, dan lemahnya penegakan hukum terhadap pelaku travel ilegal.


Sehingga dengan demikian maka diperlukan langkah konkret agar regulasi dapat berjalan sesuai espektasi untuk saat ini dan kedepan, langkah tersebut antara laian:


1. Pengetatan sertifikasi travel haji-umrah


2. Audit transparan dana jamaah


3. Sistem verifikasi publik daring (semacam cek legalitas travel)


4. Pendidikan publik dan kampanye literasi keagamaan


5. Kemitraan pemerintah–Aparat keamanan–Perwakilan RI di Arab Saudi


6. Penindakan hukum tanpa kompromi terhadap pelaku penipuan



Penguatan ini bukan untuk mempersulit umat, tetapi untuk melindungi niat suci mereka. Karena ibadah tidak boleh menjadi ruang abu-abu antara iman dan manipulasi.


Allah SWT. Telah berfirman dalam Surat Al-Baqarah Ayat 42:

وَلَا تَلْبِسُوا۟ ٱلْحَقَّ بِٱلْبَٰطِلِ وَتَكْتُمُوا۟ ٱلْحَقَّ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ


“Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui.”


Disinah perlunya keseimbangan dan upaya mencari solusi antara moralitas dan tantangan di tengah midernitas, karena di era pasar dan digitalisasi, bahkan ibadah pun berpotensi terkomodifikasi. 


Di sinilah letak kerentanan sekaligus ujian moral masyarakat muslim Indonesia. Umat harus dewasa dalam beragama, menempatkan kesabaran dan ketaatan di atas ambisi sosial.


Imam Al-Ghazali mengingatkan bahwa kemuliaan ibadah tidak diukur dari tampilan, tetapi dari ketulusan hati dan kesempurnaan jalan. Itulah sebabnya Baginda Rasulullah telah menegaskan 

الدين النصيحة

“Agama itu adalah nasihat.”

(HR. Muslim)


Nasihat ini bukan hanya untuk jamaah, tetapi juga bagi pelaku usaha, regulator, dan negara.



Sehingga dengan demikian maka perlu adanya upaya untuk merawat kesucian ibadah sekaligus menegakkan kehirmatan. 


Karena haji bukan perjalanan status, tetapi perjalanan spiritual. Mereka yang tergoda jalan pintas pada akhirnya membayar harga yang lebih mahal: hilangnya keberkahan, martabat, dan bahkan keselamatan.


Negara hadir bukan untuk menghalangi ibadah, tetapi untuk memastikan jalannya mulia dan terhormat. 


Masyarakat harus bersikap kritis, cerdas, dan sabar. Pelaku jasa wajib menjunjung amanah. Dan para pemangku kebijakan harus konsisten menjaga integritas sistem.


Karena yang kita pertaruhkan bukan hanya kenyamanan perjalanan, tetapi kehormatan bangsa di hadapan Allah dan dunia.

وَمَا عِندَ اللَّهِ خَيْرٌ وَأَبْقَىٰ

“Apa yang di sisi Allah lebih baik dan lebih kekal.”

(QS. Al-Qasas: 60)


Semoga perjalanan menuju Baitullah selalu dimulai dengan langkah yang jujur, niat yang suci, dan sistem yang bersih.


#Wallahu ‘Alam Bis-Shawab