Di saat melakukan aktivitas yang merugikan orang lain, berbuat zalim kepada sesama, atau mengambil sesuatu yang bukan hak kita. Maka, yang pertama kali menjerit adalah nurani kita, dengan jeritan jangan lakukan itu tidak benar, jangan ambil itu bukan milikmu.
Namun suara nurani itu tidak lagi terdengar, karena kepentingan, egoisme dan keserakahan. Mungkin karena bangsa kita sama dengan bangsa yang pernah dijajah pada umumnya, di mana masyarakatnya dipaksa bekerja di bawah todongan senjata. Sehingga gampang marah, dan senantiasa mencari jalan pintas.
Ingin sukses dalam studi, tapi tidak bersungguh-sungguh menuntut ilmu. Mendambakan penghargaan, tapi tidak memiliki prestasi kerja. Mengharapkan kebutuhan hidup terpenuhi, tanpa usaha dan kerja keras.
Ada lagi kebiasaan negatif yang masih sering dipertontonkan di tengah masyarakat, yakni sifat iri dan dengki serta tidak senang menyaksikan kesuksesan orang lain. Kalau gagal, ia menginginkan orang lain juga gagal dan selalu mencari kambing hitam sebagai penyebab kegagalannya.
Sangat jarang ditemukan yang mau secara terbuka mengakui dan memohon maaf kepada masyarakat atas kegagalannya. Berbeda dengan pengalaman bangsa Jepang, sebagaimana yang ditulis Komaruddin Hidayat dalam bukunya Politik Panjat Pinang, bahwa hancurnya Hiroshima dan Nagasaki pada Perang Dunia II, dijadikan momentum dan tekad bangsa Jepang untuk bangkit melawan Barat, tetapi dalam wujud ledakan produksi teknologi otomotif dan elektronika yang amat kompetitif, sehingga Barat dibuat kelabakan.
Demikian pula Jerman, Korea Selatan, Malaysia, dan China, semuanya melakukan konsolidasi dengan melakukan perbaikan spektakuler di bidang pendidikan, memperkuat riset teknologi, investasi modal nasional, dan menegakkan supremasi hukum. Yang terjadi di negeri ini justru konspirasi untuk melecehkan hukum yang menghancurkan etika berbangsa.
Kalau bangsa ini mengaku sebagai bangsa yang beragama, maka seyogianya seluruh aktivitas kehidupan bermasyarakat terinspirasi oleh ajaran agama. Misalnya dalam masalah kerja. Alquran menuntun: “Dan bekerjalah kamu sekalian karena sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya beserta orang-orang mukmin menyaksikan apa yang kamu kerjakan, dan kamu akan dikembalikan kepada Allah Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. At-Taubah/9: 105).
Karena itu, bekerja selain sebagai perwujudan perintah agama, juga merupakan amal saleh bagi pelakunya apabila memenuhi kriteria:
Pertama, motivasi kerja dalam rangka mencari Ridho Allah. Di masa Nabi ada seorang lelaki yang berusia muda, pisiknya kuat dan ulet bekerja. Sahabat Nabi berkata: Sungguh berbahagia lelaki itu, sekiranya usia mudanya dan kekuatan pisiknya digunakan untuk berjihad di jalan Allah.
Nabi berkata: Jangan berkata begitu sahabatku, kalau lelaki itu keluar dari rumahnya untuk bekerja agar memperoleh belanja untuk keluarganya, jika dia bekerja dengan maksud agar tidak menjadi peminta-minta, maka lelaki itu berjihad di jalan Allah.
Kedua, cara kerja. Dalam Islam bekerja bukan asal jadi, bukan asal selesai, bukan asal kerja. Namun terinspirasi dari makna ihsan, maka setiap pekerjaan harus dilakukan dengan yang terbaik dan semaksimal mungkin. Inilah yang disebut dengan kerja-kerja profesional.
Ketiga, jenis pekerjaan. Islam tidak membedakan pekerjaan dari jenisnya kasar atau halus, tidak pula membedakan dari cara penyelesaiannya dengan otot atau otak. Sepanjang dapat dipertanggungjawabkan secara moral di hadapan Tuhan apa pun bentuk dan jenis pekerjaan itu.
Keempat, manfaat kerja. Tidak hanya membawa manfaat untuk diri sendiri, melainkan harus berorientasi pada manfaat orang banyak. Karena dalam Islam, semakin banyak orang mengambil manfaat dari amal saleh yang kita kerjakan, semakin tinggi kualitas amal saleh itu. Tanpa dibatasi sekat-sekat agama, etnis, suku, dan budaya. (*)
Alat AksesVisi