Oleh: Abd. Rauf Amin BELUM lama ini dunia pers banyak meliput polemik, tulisan dan opini mengenai fatwa haram MUI tentang rokok dan golput. Pihak-pihak yang terlibat dalam diskusi, bukan hanya dari kalangan agamawan, tapi juga politisi, ekonom dan masyarakat awam. Konsekwensinya, fatwa itu terasa tidak hanya bernuansa agama, tapi juga bernuansa politis dan lainnya tergantung siapa analisnya, penulisnya dan pembacanya. Terlepas dari siapa analis dan pembacanya, terma Fatwa dan Haram adalah karakter hukum Islam. Kedua aspek ini adalah sub-bagian kajian pemikiran hukum Islam, yang tidak mungkin ditemukan dalam bahasan teori politik atau teori ekonomi kecuali kalau ditambah di belakangnya kata Islam. Hukum Islam sebagai sebuah bidang kajian yang sudah pasti memiliki epistemologi dan metodologi. Agar tulisan ini bisa dipahami dengan sederhana, terma epistemologi dan metodologi, saya terjemahkan menjadi atauran main, kode etik atau kalkulasi baku. Dengan memahami kalkulasi itu perbedaan sudut pandang dalam melihat kasus fatwa dan haram itu diharap bisa dimanimalisir. Karena ketika tidak merujuk pada rule of the game, kode etik, minimnya kalkulasi, maka bukan hanya satu atau dua persepsi yang muncul, tapi ratusan opini bisa menjadi liar. Bukan hanya itu, dengan tidak jelasnya atauran main, wacana bisa dijadikan sebagai ajang untuk mengecam, mengejek dan menfitnah sebuah komunitas. Substansi Fatwa Fatwa adalah pendapat hukum yang diberikan oleh seorang ulama (faqih) kepada seseorang atau masyarakat yang mengajukan pertanyaan menyangkut hukum kasus yang sedang dialaminya tanpa mengikat. Pengertian Fatwa ini menjadi penting untuk dikemukakan, karena sering sekali ia dipadankan dengan terma fiqhi, ijtihad atau hukum Islam. Padahal Fatwa memiliki substansi yang tidak dimiliki fiqhi, ijtihad dan hukum. Satu hal yang menjadi karakter fatwa adalah bahwa ia bersifat kasuistik sementara yang lain adalah normatif. Konsekwensinya, seorang ulama ketika ingin mengeluarkan fatwa ia harus mamahami betul jenis kasus yang diajukan oleh mustafti (orang yang mengajukan pertanyaan kepada ulama tentang hukum masalah yang dialaminya), bahkan bukan hanya jenis kasusnya tapi karakteristik-karakteristik yang melingkupi terjadinya kasus itu, termasuk siapa pelaku kasus, kapan terjadi kasus, dan dimana ia lakukan, dalam kondisi apa ia lakukan, apa motivasinya dan apa implikasi fatwa tersebut. Dari keterangan ini dipahami betapa sebuah fatwa tidak mengikat orang selain orang yang mengajukan pertanyaaan. Bahkan yang bertanya pun tidak terikat dengan pendapat hukum ulama yang ditanyainya, namun ia diberi hak agama untuk bertanya kepada ulama lain yang dianggapnya lebih kredible dan terpercaya, bila ia merasa bahwa ia dirugikan dengan fatwa pertama. Dari keterangan ini juga dipahami betapa penguasaan atau kedalaman pengetahuan menyangkut kasus yang ditanyakan oleh mustafti menjadi sangat penting dan sangat urgen dalam sebuah proses fatwa. Artinya, dalam hal fatwa bukan hanya pengetahuan dalil-dalil Quran dan Sunnah yang dibutuhkan. Pengetahuan dalil-dalil hukum yang memadai tapi tanpa pengetahuan kasus yang mendalam akan melahirkan fatwa yang pincang dan bisa menabrak keinginan agama (syari'). Pendekatan, kode etik, atau langkah berfatwa seperti ini bukan hal yang baru (bid'ah). Bahkan justru inilah yang menjadi mainstream di awal-awal berkembangnya Islam. Adalah Ibnu Abbas, sepupu Nabi Muhammad, menjadi contoh salah seorang sahabat yang punya pengalaman sangat populer dalam hal mengindahkan kode etik berfatwa tadi. Pernah satu ketika, ketika Ibnu Abbas sedang memberikan ceramah di hadapan para sahabat-sahabatnya, tiba-tiba ada seorang yang datang menemuinya dan meminta fatwa. Orang itu berkata, wahai Ibnu Abbas bagaimanakah hukumnya orang yang membunuh apakah ia diterima taubatnya atau tidak? Ibnu Abbas sejenak melihat orang itu lalu menjawabnya bahwa tidak, orang yang membunuh tidak diterima taubatnya. Sahabat-sahabat Ibnu Abbas yang mendengarkan fatwa Ibnu Abbas terheran-heran. Persoalannya adalah karena Ibnu Abbas sebelumnya berfatwa dengan sangat masyhur bahwa yang membunuh akan diterima taubatnya kalau ia menyesali perbuatannya. Setelah menerima jawaban fatwa dari Ibnu Abbas, orang itu pun pergi. Setelah orang itu pergi, sahabat-sahabat Ibnu Abbas mulai mempertanyakan inkonsistensi Ibnu Abbas dalam fatwa-fatwanya. Ibnu Abbas pun menjelaskan bahwa betul saya punya fatwa populer mengenai orang yang membunuh bahwa ia akan diterima taubatnya kalau ia benar-benar bertaubat. Namun khusus kasus orang tadi Ibnu Abbas memilih fatwa yang berbeda, sebab, Ibnu Abbas saya sedang mencium dari roman muka orang itu bahwa dia sedang dalam perjalanannya untuk membunuh seseorang. Menurutnya, Kalau saya memberinya fatwa yang normatif, maka saya telah terlibat dalam proses sebuah dosa besar. Saya berharap dengan fatwa saya tadi itu ia tidak jadi membunuh.' Walhasil, karena riwayat ini cukup panjang, apa yang disampaikan Ibnu Abbas itu benar. Setelah sahabat-sahabatnya melakukan penelitian ternyata orang itu memang sedang dalam perjalanannya menuju ke orang yang ia mau bunuh, dan tidak sempat terjadi. Inilah salah satu contoh perfoma ulama awal-awal Islam dalam mengindahkan cara-cara ideal berfatwa, dalam fikiran dan gagasannya adalah bagaimana mashlahah agama dan manusia bisa membumi, meskipun harus tidak komitmen pada ketentuan dalil untuk sementara. Ini belum lagi kalau kita ingin mengeksplorasi bimbingan-bimbingan Nabi dalam hal tata cara berfatwa. Demi sebuah keberkahan, saya juga akan mengutip cara Nabi dalam hal fatwa. Dalam sebuah riwayat yang sahih, Nabi pernah duduk bersama sahabat-sahabatnya di masjid. Tiba-tiba ada orang a'raabi (kampungan) datang mengencingi masjid. Perilaku orang kampungan itu telah menimbulkan kemarahan sahabat-sahabat Nabi yang sedang duduk di samping Nabi, dan dari mereka ada yang mau memukuli orang itu. Namun yang terjadi adalah Nabi melarang sahabat-sahabatnya untuk memukulinya. Karena Nabi melihat dampak negatif dari mencegat kencing orang yang sudah terlanjur kencing saat itu. Generalisasi Fatwa Dari remark di atas, ada pelajaran yang sangat berharga yaitu betapa upaya generalisasi dalil-dalil hukum pada semua masalah hukum tidak efektif dan kredibel dalam hal membumikan tujuan-tujuan agama. Pengetahuan dalil sesungguhnya hanya mencerminkan setengah dari proses berfatwa. Fatwa harus berangkat dari pertanyaan, harus berangkat dari kasus. Teori fatwa mengatakan dua kasus yang sama tidak serta merta harus diberi hukum yang sama, sebab setiap kasus ia memiliki karakteristik karakteristik yang sangat spesifik. Dari perspektif inilah sehingga perlu disosialisasikan bahwa hanya pengetahuan tentang kasus-lah yang menjadi penentu jenis atau kualitas hukum atau fatwa bukan dalil hukum. Dalil hukum itu tugasnya mengarahkan kita untuk mengetahui pesan hukum dari sumber hukum yaitu Allah. Sumber hukum mengatakan anda tidak boleh mubadzzir (mengeluarkan dana untuk hal-hal yang sia-sia), kamu jangan mengganggu orang lain dalam bentuk apapun, termasuk kalau sedang bicara dengan orang kamu harus memperhatikan kenyamanannya. Anda harus menjaga kesehatanmu untuk beribadah kepadanya, karenanya semua hal yang membuat anda bisa sakit, anda harus hindari. Selanjutnya sumber hukum juga mengatakan, kalau ada hal-hal yang sedang anda lakukan dan menurut anda dan masyarakat anda tidak baik, maka anda harus berupaya untuk melepaskan atau mencabut diri darinya. Bagi banyak ulama kontemporer, termasuk MUI, bahwa norma-norma yang disampaikan oleh sumber hukum tadi tepat untuk menjadi frame bagi haramnya rokok. Bagi mereka yang tidak sependapat dengan MUI dan ulama-ulama yang mengharamkan rokok, tentu punya kasus-kasus lain yang sangat spesifik dibanding dengan kasus-kasus mainstream. Misalnya, ada yang menemukan rokok itu baginya adalah gizi sama halnya susu dan cokelat. Atau ada yang menemukan rokok bisa menjadi pemicu meningkatnya nafsu birahi sehingga dengan menghentikan rokok kemungkinan hubungan intimnya dengan isterinya bisa menjadi lemah. Karena demikian maka secara teori, bagi mereka yang punya kasus-kasus di luar dari kasus mainstream tidak tercakup dalam fatwa haram. Namun secara empirik, hampir tidak ada keberatan atas fatwa haram merokok karena ia berbahaya bagi perokok sendiri atau lingkungan. Namun keberatan itu datang dari perspektif implikasi terhadap ekonomi negara. Mereka khawatir dengan fatwa haram rokok akan ada gerakan besar-besaran pemberhentian merokok dan kalau itu terjadi maka negara akan bangkrut dan akan menciptakan pengangguran besar-besaran. Pandangan ini legal untuk dipertimbangkan, meskipun harus dilanjutkan dengan pertanyaaan mana yang lebih afdal bagi agama, apakah negara kaya tapi tidak berakhlak atau negara yang miskin tapi punya akhlak yang tinggi?. Kemudian kalau implikasi ekonomi jadi dipertimbangkan apa boleh diterapkan juga pada kasus-kasus yang lain seperti pelacuran. Apa legal MUI juga mengeluarkan fatwa bolehnya pelacuran, karena kalau pelacuran diharamkan akan berimplikasi pada meningkatnya juga pengangguran dan akan mempengaruh secara drastis devisa negara? Ini adalah kerja ulama dan sejatinya mempertimbangkan kode etik berfatwa yaitu mashlahah bukan hanya dalil-dalil hukum. Wallahu a'alm bishshawab.