Ide tentang perjumpaan mistik lintas-iman, punya jejak panjang dalam sejarah. Dari pusaran tiang musim yang dingin, Dinasti Mughal Islam di India hadir sebagai saksi: sublimnya percakapan senyap tentang iman. ‘Abd al-Rahmân Chishtî—sufi  terpenting abad ke-17 di peradaban Mughal—menerbitkan  karya jenial, Mir’ât al-Haqâiq (“Cermin Kebenaran”), sebuah esai tawhid untuk menafsirkan Baghavadgita.

Secara konvensional Bhagavadgita (“Kidung Sang Dewa”) diyakini sebagai literasi Hindu yang tak terpisahkan dari kitab Mahabharata.

Bhagavadgita merupakan episode ketiga dari Bhismaparvan, kitab keenam dari delapan belas kitab yang secara bersama membangun Mahabharata.

Penafsiran esoterik sejumlah sufi terhadap kitab-kitab Hindu telah berlangsung jauh sebelum Chishtî. Syaikh sufi Qubjahânî misalnya, telah menyingkap “rahasia” kitab  Yoga Vasistha dalam, Kasyf al-Kunûz. 

Kitab Mir’ât al-Haqâiq, dibuka dengan maklumat, “Dialah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Lahir dan Yang Bathin” (Qs. 57:3), yang sejauh ini justru mejadi paradigma Wahdah al-Wujûd Ibn ‘Arabi. Dari titik ini pula Chishtî meretas buhul, Baghavatgita  adalah kitab yang mewartakan satu hal: Krishna mencerahkan Arjuna tentang rahasia tawhid. Terma tawhid, secara literer bermakna “penyatuan,” dalam Mir’ât al-Haqâiq bermakna “ketercelupan” ontologis.

Dalam mengurai doktrinnya, Chishtî mengutip selarik syair sufi Sayyid Râjâ (w. 1330): Dia adalah suci dan mutlak di setiap tempat, masa, dan saat/di setiap arah, setiap jalan, setiap pandangan—aku melihat-Nya. Chishtî mendaku, berdasarkan sumber doktrin rahasia Krishna, seluruh sarjana Hindu sepakat jika Krishna mengambil “intisari” rahasia-rahasia pengetahuan tentang Tuhan dari empat kitab Weda.

Chishtî lalu menggunakan istilah al-Kitâb  untuk menyebut Weda, diungkapkan sebanyak empat kali dalam Mir’ât al-Haqâiq yang dikaitkan dengan pesan suci Quran: “Hai orang-orang yang telah diberi al-Kitâb, berimanlah kamu pada apa yang telah Kami turunkan kepadamu (Qs. 4:47).

Analogi al-Kitâb sebagai Weda dalam nafas keyakinan Chishtî, secara tidak langsung telah menghubungkan Weda dan Alquran dan melahirkan dua dentuman kesadaran. Pertama, memberikan otoritas kepada Baghavadgita dengan memasukkannya ke dalam kitab Samawi, dan sebab itu kaum Muslim boleh mengkaji dan menafsirkannya. Kedua,  efek politis karena memasukkan masyarakat kerajaan Mughal yang mayoritas Hindu sebagai Ahl al-Kitâb.

Ada perdebatan yang terbit sejak abad 9 M di kalangan sarjana Hindu: apakah Bhagavadgita sebuah kitab suci teistik atau bukan. Râmânuja, pendiri aliran Visishtadvaita (dualisme) pada abad 11, berpandangan jika doktrin inti Bhagavadgita adalah Bhakti Yoga, yakni mencurahkan seluruh pikiran dan perbuatan untuk Krishna sebagai manusia-Tuhan personal. Argumennya bertumpu pada keumuman teks dalam perintah-perintah Krishna kepada Arjuna seperti: “Sembahlah Aku, berlindunglah pada-Ku, berbuatlah demi Aku, pusatkan pikiranmu pada-Ku, berjuanglah untuk Aku.” 

Di lain sisi, ada Sankarâcârya (w. 820), pembela setia kearifan Advaita (non-dualisme atau monisme) yang mengandaikan jika Bhakti Yoga tak lebih dari pesan superfisial dari Bhagavadgita, sementara yang substansi justru Jnana Yoga, sebuah perjuangan untuk memperoleh pengetahuan—Wujud  Yang Tak Terlukiskan, Yang Tak Berubah, Yang Tak Termanifestasikan, dan Yang Kekal—dengan  cara melepaskan diri dari samsâra, yaitu siklus kematian dan kehidupan.

Dalam pendakuan Râmânuja, Krishna tak lain dari jelmaan Dewa Wisnu, dan Sang Tujuan itu sendiri. Sementara Sankarâcârya memandang Krishna tak ubahnya manusia biasa yang mudah terkena samsâra. Dia adalah tujuan, tapi hanya dalam hati yang tidak memiliki kekuatan cukup untuk meninggalkan segala hal guna mengetahui Brahma. Secara esensial posisi Chishtî, sebagai seorang Muslim lebih dekat ke pemikiran Sankarâcârya, yang memandang Krishna bukan sebagai Tuhan maupun dewa, tapi lebih sebagai muwahhid (monoteis) sejati yang memahami hakikat Wahdah al-Wujûd, bahkan mungkin seorang nabi.

Dalam seluruh preskripsi kajiannya, Chishtî memilih untuk mengabaikan semua kecuali dua hal, pengakuan Krishna akan ketuhanannya dan persoalan reinkarnasi. Chishtî bersikukuh jika inti dari Bhagavadgita adalah tawhid. Itu sebab, semua penyebutan yang dinisbatkan kepada penyembahan Krishna, Mir’ât al-Haqâiq mengganti Krishna dengan Brahma. Untuk itu, Chishtî menggunakan tiga terma pokok untuk menyebut Tuhan: Khudâ (bahasa Persia, yang sepadan dengan Allâh dalam bahasa Arab), Haqq (Yang Mahabenar), dan ân-Zât (Zat dalam pengertian sufi). Ada satu istilah teknis dari tradisi Persia hama û’st yang artinya “Dialah Segalanya,” dengan segenap konotasi yang digunakan kaum sufi untuk satu tekad monisme, ditemukan di sepanjang Mir’ât al-Haqâiq yang dipenuhi kutipan syair.

Mir’ât al-Haqâiq  adalah kidung yang melintas: peneguhan tawhid dalam cawang politeistik. Itu sebab, ketika Chishtî mengurai ân-Zât,  ia menggunakan istilah Sanskerta, Birang (tak bewarna, tak terlukiskan), yang semakna dengan pâk (murni), wâhid (esa), bî kayf wa kam atau bî-chûn (tak tergambarkan). Semua ini sangat sesuai dengan julukan Brahma, tujuan tertinggi dalam arus iman Advaita. 

Di titik ini, Chishtî sejatinya tengah menyauk air monisme-ontologis pada telaga kearifan Bhagavadgita.